Menurut Teten, perlu adanya penafsiran baru akan kebijakan pemerintah pusat terkait kewenangan dan pengelolaan daerah melalui otonomi daerah.
"Lihat UU Otda (Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Pemda itu bagian dari pemerintah pusat dan Presiden penanggung jawab secara keseluruhan," kata Teten dalam acara Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (HNKTN) 2017, di Aula Pemerintah Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/11/2017).
"Presiden kan penanggung jawab semua. Jadi kami ingin tegaskan bahwa presiden, gubernur, bupati, wali kota hubungannya seperti apa di dalam pembuatan regulasi," tambah dia.
Menurut Teten, jika masing-masing pemerintah daerah punya tafsir yang berbeda dengan pemerintah pusat soal otonomi daerah.
Ia pesimistis iklim bisnis yang kondusif dan menarik minat investor seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo tidak akan pernah tercapai.
"Kalau misalnya kepala daerah bisa menafsirkan sendiri-sendiri, kita tak akan bisa menciptakan satu iklim bisnis yang kompetitif. Makanya perlu tafsir dan terobosan mengenai otda," kata dia.
"Jadi perlu tafsir dari para ahli hukum tata negara. Kalau kita bisa menafsirkan, kita bisa menyelesaikan masalah ini, membuat regulasi yang lebih baik," lanjut Teten .
Tak hanya itu, kata Teten, lembaga penguji Undang-undang UU, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi perlu paham masalah ini.
Apalagi MK telah mencabut kewenangan pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan daerah yang dianggap bermasalah.
"Ini sudah kacau balau regulasinya sehingga penataan lembaga yang memproduksi regulasi kita bereskaj tapi juga lembaga pengujinya," ujar Teten.
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/11/12030661/teten-keluhkan-daerah-yang-punya-tafsir-beda-dengan-pusat-soal-otda