Salin Artikel

Partai-partai Baru Pemilu 2019, Sekadar Penggembira?

Terdapat 14 partai politik yang lolos seleksi dengan empat partai peserta baru yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda).

Keempat partai baru seperti bersepakat untuk menetapkan ideologi Pancasila sebagai platform partai.

Keputusan partai-partai baru tersebut secara sederhana, ditambah Partai Bulan Bintang (PBB) yang gagal memenuhi syarat pendaftaran peserta Pemilu 2019, dapat dilihat sebagai semakin tegasnya tren kemunduran partai berasaskan Islam pasca-tumbangnya Orde Baru.

Kondisi yang saya nilai mulai memudarkan tesis Marx Juergensmayer (1998) di awal reformasi yang menyatakan bahwa pemilu pasca-Orde Baru yang digelar di era globalisasi adalah pertarungan ‘nasionalis-religius’ versus ‘nasionalis-sekuler’

Padahal jika mau menengok ke belakang ramalan kegagalan partai berbasis agama sebetulnya sudah disuarakan oleh almarhum Nurcholis Majid pada dekade 1960-1970 yang terkenal dengan sikap politik "Islam Yes, Partai Islam No".

Cak Nur saat itu meyakini bahwa mayoritas masyarakat Islam Indonesia secara individu taat beragama namun tidak merefleksikan hal tersebut sebagai sudut pandang kepartaian. Saat itu pendapatnya ditentang banyak pihak, namun waktu yang membuktikan.

Dinamika partai yang berimbas pada penciutan pendukung (decreasing-party). Sudah bukan rahasia jika partai Islam tidak cukup memiliki sumberdaya untuk menggaet anggota baru, bersamaan semakin berkurangnya kekuatan internalnya partai untuk memobilisasi pendukung.

Kondisi tersebut sedikit banyak berperan memperkecil simpati pemilih partai berbasis Islam yang dengan mudah dilihat pada perolehan suara partai-partai Islam, termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) yang secara AD/ART sebetulnya tidak berbasis Islam, selama satu dekade terakhir.

Fenomena kemunduran partai-partai Islam di Indonesia, tidak berbeda jauh dengan fenomena yang telah dialami partai-partai berbasis Kristen di Eropa Barat.

Riset Stathis N. Kalyvas (1996) di lima negara Eropa Barat yang memiliki partai Kristen raksasa akhirnya harus menerima kenyataan digerus oleh demokratisasi dan sekulerisme.

Meski demikian, meningkatnya kuantitas partai-partai berideologi Pancasila atau secara sederhana kita sebut sebagai partai nasionalis pun tidak menjamin kematangan ideologi yang diusung. 

Sejauh ini, tak banyak partai-partai nasionalis yang bertarung mampu menjabarkan ideologi Pancasila mereka secara gamblang.

Lebih sering terjadi pertarungan yang terjadi di antara partai nasionalis adalah memperebutkan suara ‘wong cilik’ atau menjalankan politik patronase dengan mengeksploitasi citra atau figur. Bukan program yang nyata dan terukur sebagai pengejawantahan ideologi partai.


Potensi Gen YZ

Menariknya dari empat partai baru nasionalis, kecuali PSI, rupanya adalah hasil pecahan dari partai-partai lama yang bertarung sejak 2004. Seperti Perindo yang sejatinya adalah pecahan dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Saling silang hubungan antara partai-partai lama dan baru berbasis nasionalis peserta Pemilu 2019 semakin menegaskan sulitnya melakukan identifikasi terhadap partai-partai baru tersebut karena tidak adanya basis ideologi yang jelas.

Selain itu, seiring meningkatnya persaingan, diperlukan upaya dari masing-masing partai politik baru untuk menciptakan citra yang positif di kalangan pemilih yang terbagi antara pemilih rasional dan pemilih emosional.

Menariknya, dunia politik terutama pada periode kampanye bergantung pada kecerdikan partai mobilisasi emosi masyarakat. Bahkan tak jarang ide dan gagasan tentang nilai dan sentimen yang aneh sekalipun jika berhasil mengena sisi emosi dan mood masyarakat akan berujung pada meningkatnya elektabilitas partai.

Sebut saja kondisi psikologis seperti frustasi, kekecewaan, ketakutan, stres yang terus disuarakan berulang dan diamplifikasi melalui berbagai saluran media yang menjadi modal menyatukan harapan pada partai politik yang jeli.

Bukan rahasia jika di antara partai-partai baru peserta Pemilu 2019 memang memiliki modal untuk menciptakan citra positif melalui terpaan pesan yang berulang melalui media massa yang dibeli (beriklan), melalui jaringan media massa yang terafiliasi (dimiliki), maupun melalui sosial media yang menjadi referensi pemilih pemula (generasi Y dan Z).

Meski demikian, patut diingat, untuk meraup jumlah suara yang signifikan dibutuhkan kejelian untuk menyodorkan tokoh yang memiliki elektabilitas kuat. Sayang, hingga saat ini cukup sulit menemukan tokoh yang lebih kuat dibandingkan Joko Widodo (PDI-Perjuangan) ataupun Prabowo Subianto (Partai Gerindra).

Dalam kondisi ini, langkah cerdik sudah dilakukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) maupun Perindo yang sejak awal menautkan diri pada sosok Joko Widodo yang sejak 2012 secara sadar membidik basis massa generasi Y dan Z.

Pilihan yang menurut saya realistis mengingat PSI maupun Perindo tidak cukup memiliki sumber daya manusia dan basis politik tradisional sehingga mau tidak mau hanya mengekor popularitas tokoh yang telah ada yang dianggap kuat.

Pilihan yang secara politik adalah sesuatu yang lumrah bahkan jika beruntung, pada pemilu nanti meraih kuantitas suara yang signifikan sebagai modal tawar-menawar politik yang akan dapat menempatkan wakil-wakil mereka pada posisi strategis.

Selain itu, para pemilih yang belum memiliki tingkat literasi media yang cukup itu umumnya sekadar masih menjadikan televisi free to air berbasis di Jakarta sebagai referensi politik. Mereka akan sulit untuk secara serta merta beralih pilihan pada partai-partai baru. Kalau begini sudah bisa ditebak mana partai baru yang akan cukup meraih suara.

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/26/13432201/partai-partai-baru-pemilu-2019-sekadar-penggembira

Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke