Upacara di pagi hari tuntas saya tonton dengan perasaan campur aduk, terutama karena semakin hiruk pikuknya politik Indonesia dan gempuran tak berkesudahan terhadap pemerintahan sah konstitusional duet Jokowi-JK.
Sore harinya kebetulan juga entah kenapa coba menyalakan televisi. Tayangan di layar televisi membuat saya terkesiap! Warna-warni cerah berbagai pakaian daerah dari berbagai penjuru Indonesia memenuhi layar televisi. Tema perayaan yaitu “Merdeka dalam Keberagaman” terasa begitu sederhana namun menghentak.
Pesan sangat kuat bergaung ke seluruh Nusantara dan dunia: Inilah Indonesia yang beragam etnis, beragam agama, beragam kepercayaan, bukan Indonesia lain yang berkiblat ngawur ke satu ajaran tertentu.
Tak ada warna-warna monoton dan monokrom. Tak ada gaya satu busana tertentu. Dada sungguh bergemuruh, sesak dengan rasa haru dan bangga yang sudah lama sekali tidak pernah hadir, tak terasa airmata haru membayang di pelupuk mata.
Esok harinya, tanggal 18 Agustus 2017 di halaman utama Kompas cetak dan e-paper menyajikan potongan adegan “Merdeka dalam Keberagaman” yang dibingkai luar biasa oleh fotografer Kompas.
Kemudian di halaman dalam tersaji foto apik Presiden Jokowi beserta Ibu Negara dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta istri bersama para mantan presiden Republik Indonesia. Momentum kebersamaan ini sudah dinantikan sejak lama.
Sementara di grup-grup Whatsapp berseliweran foto-foto Megawati bersalaman dengan SBY dengan raut muka masing-masing yang sudah mencair setelah ketegangan di antara beliau berdua sekian tahun belakangan.
Inilah makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka dalam berpolitik, merdeka dalam bernegara, semuanya untuk negeri tercinta Indonesia.
Berseliweran juga di grup-grup Whatsapp foto yang penuh warna itu disandingkan dengan foto upacara tokoh politik yang warnanya cenderung kusam yang menampilkan wajah orang-orang tanpa senyum, kaku, dan tegang. Sungguh sangat kontras.
Sehari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan, pada 16 Agustus 2017, Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Istimewa tahunan MPR. Dalam kesempatan itu politisi Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring mendoakan agar Jokowi tambah gemuk. Doa Tifatul ramai diperbincangkan para warganet.
Sekilas memang tidak ada yang salah dengan doa tersebut. Namun demikian, dalam kegiatan berskala nasional dan dalam rangka memeringati Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72, doa semacam itu sepertinya tidak pada tempatnya.
Bukan sekali ini saja Tuhan diajak berpolitik. Para politisi Indonesia sudah jamak mengajak bahkan memaksa Tuhan turun gelanggang. Doa “gemukkanlah badan beliau yang semakin kurus” terasa tidak enak didengar.
Namun, mari kita tetap berpikir positif dan menjaga kewarasan politik kita. Mari kita tetap berpikir positif bahwa doa Tifatul adalah doa terbaik yang diunjukkan untuk bangsa Indonesia dan Presiden Jokowi.
Masih sehubungan dengan doa tersebut, yang paling menyedihkan adalah komentar penyiar muda salah satu stasiun televisi swasta melontarkan kalimat yang menurut saya cenderung nyinyir: “Amin. Kita doakan Jokowi menjadi gemuk, asal bukan rekeningnya yang bertambah gemuk”.
Mungkin penyiar itu bermaksud bercanda. Tapi, seperti juga doa Tifatul, canda yang tidak pada tempatnya. Perayaan sakral Kemerdekaan Indonesia ke-72 dan sosok Kepala Negara yang notabene tengah disiarkan secara publik bukan tempat yang pantas untuk dijadikan bahan bercandaan.
Soal lain yang juga tengah heboh adalah kasus First Travel. Puluhan ribu jamaah tertipu tidak bisa berangkat umroh karena uang yang sudah disetorkan tidak jelas keberadaannya. Berita terakhir menyebutkan total dana yang menguap mencapai jumlah yang sangat fantastis Rp 700 miliar.
PPATK menelusuri aliran dana dari dan ke rekening perusahaan dan rekening pribadi pasangan pemilik First Travel. Hasilnya, dana jemaah juga digunakan untuk pembelian aset pribadi.
Rekening bank perusahaan dan pribadi pasangan tersebut hampir kosong. Konon, uang tersebut diinvestasikan ke investasi abal-abal Pandawa dan menguap. Pasangan pemilik First Travel diberitakan lupa ke mana saja uang itu.
Tak menunggu lama, pihak-pihak tertentu menggunakan isu ini untuk kembali menggempur Pemerintah. Isu agama memang paling gampang dan paling sensitif dijadikan bungkus politik.
Entah siapa yang memulai, logika terbalik bermunculan meramaikan. Ada yang mengatakan bahwa mencabut izin First Travel berarti sama saja pemerintah Indonesia menutup kesempatan pemberangkatan umrah para jemaah.
Oleh karena itu, pemerintah diminta bertanggungjawab dengan memberangkatkan umrah para jemaah First Travel. Ada lagi yang menyerukan agar pemerintah Indonesia mengganti semua kerugian jamaah.
Isu sentimen etnis dan sentimen agama dengan cara biasa tidak mempan, isu First Travel pun digunakan sebaik-baiknya untuk kembali menggempur pemerintah.
Apakah pengalihan isu? Entahlah! Bagaimana dengan kasus e-KTP? Kasus mega korupsi ini terasa semakin berkurang gaungnya, silih berganti dialihkan dengan berbagai isu lain, terlebih jika dibungkus dengan agama.
Isu-isu dan berbagai gempuran yang terus menerpa pemerintahan Jokowi-JK ini akan semakin intensif menyongsong Pilpres 2019. Tiga serangkai isu yaitu etnis, agama, dan PKI plus ditambah bumbu “asing-aseng” akan terus digaungkan.
God bless Indonesia. Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72!
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/21/14275811/merdeka-dalam-keberagaman--doa-untuk-jokowi-penyiar-nyinyir-dan-first-travel