Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemindahan Ibu Kota, Pusat Pemerintahan, atau Keduanya?

Kompas.com - 05/07/2017, 21:36 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com - Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta kembali berdengung. Hal yang orang kerap lupa, Jakarta adalah ibu kota sekaligus pusat pemerintahan, bahkan juga pusat bisnis.

Pertanyaannya, dalam konteks wacana pemindahan ibu kota, apa status perpindahan dari Jakarta, pusat pemerintahan atau sekaligus ibu kota?

"Harus dilihat dulu tujuan dari rencana ini apa. Kebutuhan apa yang mau dijawab dari wacana pemindahan tersebut? Kebutuhan publik, kebutuhan jalannya pemerintahan, kebutuhan jalannya negara lebih cepat, atau apa?" kata pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, saat dihubungi lewat telepon, Rabu (5/7/2017).

Dari situ, lanjut Zainal, baru bisa dibahas lebih lanjut apa yang mau dipindah dari Jakarta dan ke mana pemindahannya. Meski demikian, dia berpendapat, Jakarta memang sudah tidak layak menjadi lokasi dari pusat pemerintahan dan layanan publik.

"Macet saja, misalnya, sudah bikin urusan lama, pemerintahan sudah terganggu. Belum yang banjir dan sebagainya," kata Zainal.

Kalau memang kebutuhan yang hendak dijawab adalah soal efektivitas pemerintahan dan layanan publik, menurut dia yang dipindah cukup pusat pemerintahan.

Contoh terdekat sebagai rujukan adalah pemindahan pusat pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, sementara Ibu Kota Malaysia tetap di Kuala Lumpur. Itu pun, lanjut Zainal, implikasinya besar.

"Kalau terkait pemerintahan, semua dipindah. Semua perangkat termasuk markas TNI," sebut dia.

Genangan air di Jalan Medan Merdeka Utara tepat di depan Istana Merdeka, Senin (9/2/2015). Kondisi ekologis Jakarta dinilai sudah tidak memadai lagi menjadi ibu kota, termasuk lokasinya yang makin rawan genangan selain kemacetan parah sehari-hari.KOMPAS.COM/JESSI CARINA Genangan air di Jalan Medan Merdeka Utara tepat di depan Istana Merdeka, Senin (9/2/2015). Kondisi ekologis Jakarta dinilai sudah tidak memadai lagi menjadi ibu kota, termasuk lokasinya yang makin rawan genangan selain kemacetan parah sehari-hari.

Demografi, termasuk infrastruktur sosial, menurut dia tak dimungkiri juga bakal terimbas bila semua aparatur negara harus ikut berpindah. Sekolah untuk anak-anak para abdi negara, sebut dia memberikan contoh, jelas harus tersedia di lokasi baru.

Bila Putrajaya dan Kuala Lumpur jaraknya bisa dibilang sepelemparan batu, lanjut Zainal, Indonesia punya pilihan lokasi sampai ke seberang Pulau Jawa.

Berhitung implikasi yang mungkin timbul, Zainal berpandangan, pemindahan pusat pemerintahan tak harus mengambil lokasi yang jauh dari Jakarta.

"Ide (pemindahan pusat pemerintahan ke) Jonggol lebih menarik. Mirip betul dengan (pemindahan pusat pemerintahan Malaysia ke) Putrajaya," ujar Zainal.

Wacana pemindahan pusat pemerintahan ke Jonggol yang disitir Zainal, terakhir kali mencuat pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Istilah "Greater Jakarta" pun dimunculkan saat itu.

Sejak 1900-an

Namun, sejarawan JJ Rizal mengungkapkan, ide tersebut sebenarnya kelanjutan dari wacana megapolitan yang diangkat lagi oleh Soekarno pada era 1960-an.

Konsep tersebut, tutur Rizal, sudah lebih dulu ada pada awal era 1900-an, berdasarkan kajian para penutur bahasa, terkait desentralisasi dan penataan ruang Indonesia.

Sayangnya, kata Rizal, Soekarno efektif memerintah hanya pada kurun 1959-1965, sehingga ide ini belum sempat terwujud.

"Jadi, Ali Sadikin mengantarkan konsep itu ke Sutiyoso, lalu Sutiyoso mengantarkan konsep megapolitan itu ke SBY. Idenya diterima SBY tapi disimplifikasi jadi pemindahan ibu kota. Soal kenapa tak pakai nama megapolitan, mungkin ada sejarah lain," ujar Rizal, lewat pembicaraan telepon, Rabu.

Pemandangan Kompleks DPR/MPR/DPD, di Senayan, Jakarta. Kawasan ini disebut sebagai model yang dibangun Soekarno dalam mengadopsi ruh keindonesian, khususnya dari betawi, terkait prinsip halaman dengan tanaman dan ruang air yang lebih luas dibandingkan bangunan.KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Pemandangan Kompleks DPR/MPR/DPD, di Senayan, Jakarta. Kawasan ini disebut sebagai model yang dibangun Soekarno dalam mengadopsi ruh keindonesian, khususnya dari betawi, terkait prinsip halaman dengan tanaman dan ruang air yang lebih luas dibandingkan bangunan.

Konsep megapolitan yang diangkat Soekarno, tutur Rizal, mencakup wilayah sampai Purwakarta di Jawa Barat. Komposisinya mencakup kawasan hijau, kawasan biru, kawasan bangunan, lembah, bukit, dan pegunungan.

"Jadi Jakarta punya sabuk hijau, biru, dan abu-abu. Itu bagian dari orientasi baru Soekarno tentang keindonesiaan, membagi beban Jakarta ke daerah sekitar dengan mengambil inspirasi dari ruh keindonesiaan," kata Rizal.

(Baca juga: Benarkah Soekarno Ingin Pindahkan Ibu Kota ke Palangkaraya?)

Bukan cuma soal Jakarta

Pendapat lain datang pula dari Andrinof Chaniago, mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas sekaligus perancang Visi Indonesia 2033.

Halaman:


Terkini Lainnya

Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Nasional
Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Nasional
Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Nasional
Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

Nasional
Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Nasional
Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Nasional
PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

Nasional
Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Nasional
PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Nasional
Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com