Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelibatan TNI Berantas Terorisme Tanpa Keputusan Politik Presiden Dinilai Berisiko

Kompas.com - 31/05/2017, 03:51 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator peneliti Imparsial Ardi Manto menilai pasal pelibatan TNI dalam revisi Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) memiliki risiko minimnya pengawasan upaya pemberantasan terorisme.

Ardi menuturkan, jika ketentuan pelibatan TNI diatur dalam RUU Anti-terorisme, dikhawatirkan pengerahan kekuatan militer untuk operasi militer selain perang tidak lagi membutuhkan keputusan politik dari presiden.

(Baca: Kata Wiranto soal Pelibatan TNI dalam RUU Terorisme)

"Jika pelibatan TNI diatur dalam RUU antiterorisme maka operasi militer terkait pemberantasan terorisme tidak perlu lagi keputusan politik presiden. Justru akan berisiko," ujar Ardi saat ditemui di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017).

Ardi menjelaskan, idealnya pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang membutuhkan mekanisme pengawasan yang ketat dan akuntabel.

Oleh sebab itu dalam mengatasi terorisme, pelibatan TNI harus berdasarkan atas dasar keputusan politik presiden, misalnya melalui penerbitan keputusan presiden (Keppres) atau peraturan presiden (Perpres), sebagaimana diatur dalan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.

Keputusan politik presiden tersebut, lanjut Ardi, juga mensyaratkan adanya persetujuan dari DPR.

Dengan begitu pengerahan kekuatan militer bisa dipertanggungjawabkan. Menurut Ardi, jika Presiden ingin melibatkan TNI dalam penanganan terorisme, maka pemerintah cukup membuat peraturan pelaksana (PP) dari UU TNI.

Dalam PP tersebut pemerintah bisa mengatur mekanisme pelibatan TNI secara detail, seperti jangka waktu dan batas wilayah operasi perbantuan TNI.

"Memang kelemahannya saat ini tidak ada PP dari UU TNI. Itu perlu dibuat agar mekanisme pelibatan TNI bisa lebih detil, sebab mekanisme pelibatan TNI harus jelas mengenai batas wilayah dan jangka waktunya," jelas Ardi.

Sementara itu Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, keinginan presiden untuk melibatkan TNI dalam mengatasi terorisme sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa harus mengaturnya kembali dalam UU antiterorisme.

Aturan tersebut secara jelas tercantum dalam Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI.

"Pelibatan TNI (dalam operasi militer selain perang) sudah cukup jelas diatur dalam UU TNI, mengingat TNI merupakan alat pertahanan negara, bukan penegak hukum," ujar Al Araf.

Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI menyebutkan, TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang, misalnya untuk mengatasi terorisme, dengan didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara.

(Baca: Wakil Ketua Komnas HAM Kritik Rencana Pelibatan TNI Berantas Terorisme)

Dengan demikian, lanjut Araf, Presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan TNI.

Menurut Araf, pelibatan militer merupakan last resort (pilihan terakhir) yang dapat digunakan Presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme.

"Cukup gunakan UU TNI dalam melibatkan TNI. Aturannya jelas kenapa harus diatur lagi. Dalam praktiknya selama inipun militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana terjadi dalam operasi perbantuan di Poso," kata dia.

Kompas TV Perlukah TNI Dilibatkan Dalam Pemberantasan Terorisme?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com