JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf berpendapat, problematika terkait makar bukan pada perlu atau tidaknya definisi yang limitatif atau spesifik. Sebab, yang dimaksud dengan makar sudah cukup dijelaskan pada Pasal 107 KUHP.
"Yang jadi problema adalah penggunaan pasal makar pada situasi-situasi tertentu," ujar Asep saat dihubungi, Rabu (24/5/2017).
Asep menilai, pasal makar lebih sering digunakan untuk kepentingan politik. Padahal semestinya, ketika berbicara pasal terkait perbuatan makar maka harus dilihat dari sudut pandang hukum. Ia pun menyinggung penangkapan sejumlah tokoh beberapa waktu lalu.
"Sebut saja penangkapan Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, itu sebetulnya penyelesaiannya harusnya politik, bukan pakai pasal makar. Jadi banyak bias, dan distorsinya di situ," kata Asep.
(Baca: Ahli: Definisi Makar Jangan Ditafsirkan Sesuai Selera Rezim)
Asep berpendapat, akan lebih baik jika rumusan pasal makar dimasukan ke dalam delik materil, bukan delik formil sebagaimana yang berlaku saat ini.
Di dalam delik formil tidak diperlukan adanya akibat, dengan terjadinya tindak pidana sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi. Berbeda dengan delik materil, tindak pidana dinyatakan terjadi jika telah ada akibatnya.
Maka dari itu, tindakan seseorang atau kelompok, sepanjang belum ada akibat yang dilakukan seseorang yang merujuk pada upaya penggulingan, disintegrasi, pengancaman, pembunuhan, tipu daya dalam siasat kejahatan ke negara, pemerintah dan masyarakat, maka tidak boleh dikenakan pasal makar.
"Memang akan menjadi lebih sulit untuk dipakai sebagai alat politik, karena perlu diukur akibatnya," kata dia.
Hal ini sebagaimana rumusan pasal pada pidana korupsi. Ia mengatakan, pada awalnya rumusan pidana korupsi dimasukan dalam delik formil.
(Baca: Saksi Ahli Nilai Perbedaan Haluan Politik Tak Bisa Dianggap Makar)
Penegak hukum dengan mudahnya menjerat seseorang yang dinilai melakukan korupsi. Padahal, belum tentu ada kerugian negara sebagaimana disebutkan dalam uu tipikor.
Kemudian oleh MK, melalui putusan uji materi perkara nomor 25/PUU-XIV/2016 menjadikan delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah makna menjadi delik materil.
Sebelumnya, ICJR mengajukan uji materi terhadap pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 KUHP. Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu mengatakan, kata "makar" dalam KUHP merupakan terjemahan dari kata "aanslag" dari KUHP Belanda. Namun, kata Erasmus, tidak ada kejelasan definisi dari kata "aanslag".
"Makar bukan bahasa Indonesia yang mudah dipahami, makar dari bahasa Arab. Sedangkan aanslag artinya serangan. Tidak jelasnya penggunaan frasa aanslag yang diterjemahkan sebagai makar, telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag," kata Erasmus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.