JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah membuka diskursus publik mengenai mudahnya paham-paham atau ideologi yang berasal dari Timur Tengah, masuk dan diterima di Indonesia.
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, setidaknya ada tiga faktor yang membuat ideologi asal Timur Tengah mudah berkembang di Tanah Air.
"Pertama, Timur Tengah masih dianggap sebagai kiblat umat Islam dunia, sehingga pemikiran dan gerakan yang berasal dari Timur Tengah hampir memiliki jejaring atau channel di Indonesia," kata dia dalam diskusi yang diselenggarakan di Kantor PBNU, Jakarta, Jumat (19/5/2017).
(Baca: Gubernur Lemhanas: Ketahanan Ideologi Pancasila pada Generasi Muda Menurun)
Mu'ti pun mengakui, berdirinya dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga tidak lepas dari pengalaman para pendirinya ketika menimba ilmu di Arab Saudi.
"Ilmu yang beliau (Hasyim Asy'ari dan Ahmad Dahlan) pelajari dari para ulama di Mekah dan negara sekitarnya memberikan inspirasi yang cukup kuat untuk membangun dan mengembangkan Indonesia," kata Mu'ti.
Faktor kedua yaitu, secara historis memang ada kedekatan kuat terutama antara Indonesia-Arab Saudi, Indonesia-Mesir, dan termasuk Indonesia-Palestina.
Menurut Mu'ti, kedekatan sejarah itu memberikan implikasi yang bersifat emosional antara umat Islam Indonesia dan umat Islam yang ada di Timur Tengah.
Sehingga, konflik-konflik yang ada di Timur Tengah mendapatkan resonansi di Tanah Air dalam bentuk yang berbeda-beda.
Mu'ti mencontohkan, ada seseorang yang meninggal di Palestina karena dibunuh Israel kemudian menjadi berita besar di Indonesia bahkan memunculkan gelombang aksi demo yang luar biasa.
(Baca: Tantangan Setelah 1998 adalah Melawan Ideologi Transnasional)
"Yang kadang-kadang kalau ada peristiwa besar di Tanah Air kita, jangankan demo, takziah pun tidak. Inilah sebuah realitas yang banyak dijelaskan di banyak literatur," jelas Abdul.
"Oleh karena itu kenapa Hizbut Tahrir itu dengan mudah masuk ke Indonesia karena alasan itu. Posisinya yang berdekatan dengan Palestina, gagasannya yang mengangkat isu yang membuat banyak kalangan tertarik," kata dia lagi.
Isu-isu yang diangkat gerakan ini menjadi menarik dalam konteks Indonesia, karena menemukan momentumnya.
Utamanya, kata Mu'ti, setelah reformasi, nyatanya konsep negara demokrasi belum mampu mengantarkan cita-cita Indonesia mencapai tujuan para pendiri bangsa.