Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reformasi Industri Pertahanan Diperlukan

Kompas.com - 05/04/2017, 20:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Kasus korupsi di PT PAL menjadi bukti dibutuhkannya reformasi di semua industri pertahanan. Evaluasi industri pertahanan penting karena misi yang diembannya untuk memperkuat pertahanan sekaligus memperluas pasar internasional.

Integritas dalam tata kelola bisnis industri pertahanan milik negara dinilai masih minim. Selain PT PAL, industri pertahanan lain, seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad, juga dinilai belum transparan dan anti korupsi. Padahal, industri pertahanan mengemban misi penting untuk memperkuat pertahanan negara.

"Adanya sorotan publik dalam kasus korupsi PT PAL bisa digunakan sebagai momentum reformasi industri pertahanan," kata Direktur Program Imparsial Al Araf, Selasa (4/4).

Al Araf mengatakan, anggaran untuk sektor pertahanan sangat tinggi. Selama tahun 2014-2019 ini dianggarkan Rp 151 triliun untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok minimum. Industri pertahanan menjadi salah satu ujung tombak pengadaan alutsista. Memang sudah ada Komisi Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang berfungsi mengawasi dan memfasilitasi industri pertahanan. Akan tetapi, KKIP dinilai juga terjebak dalam beberapa hal.

(Baca: Kasus Suap di PT PAL Bukti Rentannya Korupsi Sektor Pertahanan)

"Tingginya risiko korupsi alutsista tidak hanya terjadi di militer, tetapi juga agensi dan broker. Sekarang ditambah industri yang membuat alutsista," kata Dedi Haryadi, Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII).

Dedi mengatakan, kerawanan korupsi di sektor pertahanan Indonesia, sesuai dengan riset TII, sebenarnya mengalami perbaikan dari level E ke D pada 2015. Namun, performa lebih buruk justru diberikan industri pertahanan nasional. TII melakukan riset terhadap PT DI pada 2012 dan 2015. Dari riset tersebut, PT DI mendapat level F alias lebih buruk dari E. Ada dua parameter yang dinilai oleh TII, yaitu tidak adanya etika anti korupsi dan program anti korupsi.

Menurut Dedi, PT DI sebenarnya diharapkan memublikasikan etika dan program anti korupsinya. Ia mengatakan, hal ini juga terjadi di PT PAL dan PT Pindad.

Sementara itu, dalam penyidikan kasus suap direksi PT PAL, KPK tengah mendalami peran Agus Nugroho yang diduga menjadi perantara suap dalam kasus ini. Agus adalah pihak swasta yang ikut ditangkap di kantor PT Pirusa Sejati, Jakarta, dalam operasi tangkap tangan, Kamis pekan lalu. "Kami perlu mencari lebih jauh AN (Agus Nugroho) menjadi perantara untuk siapa," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Agus merupakan satu dari empat tersangka suap PT PAL yang berperan sebagai perantara suap. Tiga tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT PAL Muhammad Firmansyah Arifin, General Manager Treasury PT PAL Arif Cahyana, dan Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar sebagai penerima suap.

Dalam kasus suap ini, PT PAL merupakan pemenang lelang pengadaan kapal perang Filipina dengan nilai proyek 86,96 juta dollar AS atau setara Rp 1,1 triliun. PT PAL menggunakan perusahaan perantara dari Filipina, Ashanti Sales Incorporation, untuk memenangi tender pembelian kapal.

Disepakati biaya pemasaran untuk Ashanti 4,75 persen dari nilai kontrak atau 4,1 juta dollar AS (Rp 54,9 miliar). Dalam perjalanannya, ada kesepakatan tertutup karena 1,25 persen dari biaya pemasaran untuk Ashanti diperuntukkan bagi petinggi PT PAL. Nilainya mencapai 1,087 juta dollar AS atau hampir Rp 14 miliar. (EDN/MDN/SYA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 April 2017, di halaman 4 dengan judul "Reformasi Industri Pertahanan Diperlukan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com