Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Percepat Proses Legalisasi Hutan Adat

Kompas.com - 05/01/2017, 21:17 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Rimbawan Muda Indonesi (RMI) Mardha Tillah mengatakan, selama ini legalisasi hutan adat bagi masyarakat hukum adat memakan waktu yang lama. 

Hal ini terjadi karena adanya keraguan dan skeptisisme pemerintah bahwa masyarakat adat tidak mampu mengelola hutan.

Ia mengingatkan, sikap seperti ini harus dihilangkan jika pemerintah serius mengurangi kesenjangan sosial dengan mempercepat proses legalisasi hutan adat.

"Banyak yang skeptis, tidak nyaman, atau takut dengan perubahan, begitu juga dengan perubahan status hutan negara menjadi hutan adat. Setelah penetapan hutan adat pertama pada 30 Desember 2016 lalu, maka penetapan selanjutnya diharapkan tidak lagi memakan waktu yang lama," ujar Mardha, saat dihubungi, Kamis (5/1/2017).

Mardha mengatakan, perubahan status hutan negara menjadi hutan hak, apalagi perpindahan status kepemilikannya kepada masyarakat adat, selama ini dipandang sebelah mata.

Pemerintah dinilai terlalu berhati-hati karena belum pernah ada preseden sebelumnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus memastikan adanya pemahaman yang merata di jajaran dirjen dan pejabat KLHK lainnya mengenai perubahan status hutan negara menjadi hutan adat ini.

"Bahwa hal ini (perubahan status) bukan dalam upaya mengancam keberadaan hutan, tapi secara fakta justru sudah menyumbang ke perluasan jumlah kawasan hutan," kata dia.

Secara terpisah, Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa Indonesia), Dahniar Adriani, meminta pemerintah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam mempercepat legalisasi hutan adat bagi masyarakat adat setempat.

Hal tersebut sesuai dengan mandat yang tercantum dalam pasal 18 B ayat 2 UUD 1945.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Pemerintah harus mengedepankan mandat konstitusi dalam mengakui keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya sehingga perbedaan konsep hukum adat di tengah masyarakat tidak menjadi hal yang aneh," ujar Dahniar.

Pendaftaran kawasan hutan adat telah diajukan oleh sejumlah masyarakat hukum adat dan organisasi masyarakat sipil sejak 5 Oktober 2015 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Penetapan kawasan hukum adat tersebut diajukan oleh masyarakat hukum adat Marga Serampas di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, masyarakat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, masyarakat Lipu Wana Posangke di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dan Kasepuhan Karang di Kabupaten Lebak, Banten.

Namun, KLHK baru mengeluarkan penetapan kawasan hutan adat tersebut pada 30 Desember 2016.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk mengurangi kesenjangan sosial, salah satunya dengan mempercepat proses legalisasi hutan adat untuk masyarakat adat setempat.

Janji percepatan itu diungkapkan Presiden Jokowi saat memimpin rapat kabinet paripurna di Istana Bogor, Rabu (4/1/2017).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com