JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar menegaskan bahwa penyidik menganggap belum perlu menahan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Hal tersebut menanggapi desakan masyarakat yang ingin Ahok segera ditahan usai penetapan tersangka kasus dugaan penistaan agama.
"Penyidik belum ada urgensi untuk memutuskan dalam konteks melakukan penahanan karena tetap merujuk pada hukum acara yang ada," ujar Boy di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin (21/11/2016).
Boy mengatakan, berdasarkan hukum acara, tertera bahwa penahanan dilakukan jika memenuhi unsur subjektif dan objektif.
Unsur tersebut antara lain adanya kekhawatiran untuk melarikan diri dan mengilangkan barang bukti. Namun, sejauh ini, penyidik menilai Ahom masih kooperatif.
"Dalam KUHAP setiap tersangka dapat dilakukan penahanan, jadi sifatnya tidak wajib," kata Boy.
Saat ini, proses penyidikan kasus dugaan penistaan agama terus dilakukan. Sejak penetapan tersangka, setiap hari polisi memeriksa sejumlah saksi untuk disusun dalam berita acara pemeriksaan dan melengkapi berkas perkara.
Penyidik menargetkan pemberkasan selesai dalam satu pekan ke depan.
"Jika tak ada halangan maka dalam waktu seminggu itu akan dituntaskan proses penyusunan berkas perkara untuk dapat dilaksanakan penyerahan tahap kesatu kepada jaksa penuntut umum," kata Boy.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya mengatakan, penyidik beranggapan belum perlu dilakukan penahanan terhadap Ahok.
Penyidik hanya mengeluarkan surat permintaan cegah terhadap Ahok untuk bepergian ke luar negeri.
Selama ini, Ahok dianggap cukup kooperatif dalam pemeriksaan. Saat diundang untuk dimintai keterangan, Ahok hadir tepat waktu.
Bahkan, saat pertama kali dimintai keterangan, Ahok berinisiatif datang sendiri sebelum diundang.
Menurut Tito, penahanan baru dilakukan jika penyidik menilai tersangka berpotensi melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.
Hingga saat ini, kekhawatiran itu tidaklah besar.