JAKARTA, KOMPAS.com — Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah disahkan DPR dianggap masih jauh dari harapan publik.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, mengatakan, poin-poin yang direvisi dalam UU itu tak jauh berbeda dengan UU sebelumnya.
"Revisi ini hanya bersifat tambal sulam tanpa menyentuh persoalan dan kebutuhan pokok dari suatu undang-undang yang mengatur internet," ujar Wahyudi dalam keterangan tertulis, Kamis (27/10/2016).
(Baca: Tanpa Perdebatan, RUU ITE Disahkan DPR)
Wahyudi menyoroti sejumlah substansi dalam undang-undang yang baru. Dalam Pasal 40 diatur pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang melanggar undang-undang.
Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan sebagainya.
Jika situs yang menyediakan informasi melanggar undang-undang merupakan perusahaan media, hal itu akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.
(Baca: Revisi UU ITE Disetujui, Ini Poin Perubahannya)
Namun, bila situs yang menyediakan informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai perusahaan media (nonpers), pemerintah bisa langsung memblokirnya.
Wahyudi menganggap berbahaya secara politik pemberian wewenang kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses. Ia melihat besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan.
"Rumusan ini juga jauh dari standar hak asasi manusia dalam pemutusan konten internet, yang menghendaki adanya kejelasan batasan konten atau muatan internet yang dapat dibatasi, prosedur dalam pembatasannya, termasuk mekanisme pemulihannya, dan keharusan wewenangnya diserahkan kepada suatu badan yang independen, bebas dari kepentingan politik dan ekonomi," kata dia.
(Baca: Revisi UU ITE Disahkan, Menkominfo Yakin Tak Ada Lagi Kriminalisasi Berekspresi)
Sorotan lain, Pasal 26 yang isinya ialah seseorang boleh mengajukan penghapusan berita terkait dia pada masa lalu yang sudah selesai, tetapi diangkat kembali.
Salah satunya seorang tersangka yang terbukti tidak bersalah di pengadilan, dia berhak mengajukan ke pengadilan agar pemberitaan tersangka dirinya agar dihapus.
Wahyudi menjelaskan, selain harus dilakukan melalui penetapan pengadilan, setiap kebijakan penghapusan data pribadi haruslah diselaraskan dengan persyaratan minimum penghapusan data.