JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengaku kesulitan mendapatkan dokumen laporan hasil investigasi tim pencari fakta terkait pembunuhan aktivisi HAM Munir Said Thalib.
Ia telah melakukan upaya untuk menemukan dokumen yang hilang, salah satunya dengan menghubungi mantan anggota TPF.
"Kami masih terus menelusuri. Nampaknya tidak mudah juga mendapatkan dokumen itu karena timnya sudah bubar kan," kata Prasetyo di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (21/10/2016).
Prasetyo mengatakan, sejak awal Kejaksaan Agung tidak pernah melihat atau menerima salinan dokumen itu.
(Baca: Istana: Kejagung Bisa Minta Dokumen TPF Munir ke SBY)
Ia berharap mantan TPF atau siapapun yang memegang dokumen itu bisa menyerahkannya ke pemerintah.
"Makanya saya berharap siapapun yang menyimpan dokumen itu bisa segera menyerahkan pada kami," kata Prasetyo.
Dengan demikian, Presiden Joko Widodo bisa mengumumkan hasil investigasi tersebut. Jika ada bukti baru, nantinya akan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
"Saya tugaskan Jamintel untuk menelusuri. Nanti kita akan melakukan lagi upaya yang lebih intensif," kata Prasetyo.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sebelumnya memenangkan gugatan terhadap Kementerian Sekretariat Negara terkait permohonan agar pemerintah mempublikasikan laporan TPF kasus pembunuhan Munir.
Pemerintah diminta segera mengumumkan hasil penyelidikan TPF kasus kematian Munir, seperti yang dimohonkan.
Namun, Kemensetneg bersikukuh bahwa laporan TPF atas kematian Munir memang tidak ada pada mereka.
(Baca: Cari Dokumen TPF Pembunuhan Munir, Akankah Jaksa Agung Minta ke SBY?)
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Alexander Lay mengatakan, berdasarkan pemberitaan media massa, laporan TPF kematian Munir itu dipegang oleh Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyangsikan keterangan yang menyatakan dokumen penyelidikan kasus Munir tidak berada di Kemensetneg.
Dia meyakini dokumen tersebut tersimpan di Kemensetneg, namun pemerintah belum mempunyai political will untuk mempublikasi.