JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Indonesia (SIGMA) Said Salahuddin menilai, pendeklarasian Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai calon guberur DKI Jakarta oleh PDI Perjuangan, masih menyisakan pertanyaan. Bahkan, ia memprediksi, adanya ancaman pecah kongsi di antara partai pendukung.
“Kalau merujuk pada Peraturan PDIP Nomor 04 Tahun 2015 Tentang Rekrutmen dan Seleksi Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, disebutkan bahwa Calon yang telah ditetapkan oleh DPP PDI-P wajib membuat surat pernyataan bersedia menjadi petugas partai,” kata Said dalam pesan singkat, Rabu (21/9/2016).
Menurut dia, jika Ahok menerima konsekuensi yang dibebankan PDI Perjuangan sebagaimana aturan yang ada, maka dengan demikian mantan Bupati Belitung Timur itu akan menjadi kader PDI Perjuangan.
“Dengan menjadi kader, maka menurut peraturan itu Ahok harus memegang teguh sumpah sebagai anggota PDI-P dan bersedia mengemban amanat partai,” ujarnya.
Namun, persoalan baru justru dikhawatirkan muncul di antara partai pendukung lainnya, yaitu Golkar, Nasdem dan Hanura. Menurut Said, ketiga partai itu akan mengalami kerugian politik apabila Ahok menerima permintaan PDI Perjuangan untuk menjadi petugas partai.
“Sebab itu artinya Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang mereka usung, kedua-duanya adalah kader PDIP. Ahok PDIP, Djarot pun PDI-P,” ujarnya.
Sebelumnya, saat deklarasi yang dilangsungkan di Kantor DPP PDI Perjuangan, Menteng, Jakarta, Selasa (20/9/2016) malam, Ahok menjadi satu-satunya calon gubernur yang tidak mengenakan seragam merah, khas PDI Perjuangan.
Ahok memang bukan merupakan kader partai berlambang banteng moncong putih. Pada 2012 lalu, dia diusung sebagai calon wakil gubernur oleh Partai Gerindra, berpasangan dengan Jokowi yang dicalonkan PDI-P.
Namun, Ahok belakangan keluar dari Partai Gerindra karena tak sejalan. Dia juga menolak untuk kembali menjadi kader parpol meski kembali maju lewat parpol pada Pilkada DKI 2017.