Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perludem Menilai Mekanisme Wajib Konsultasi di KPU Jauh dari Prinsip Kemandirian

Kompas.com - 12/09/2016, 22:39 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) menilai mekanisme konsultasi peraturan KPU dan Bawaslu dengan Pemerintah dan DPR jauh dari prinsip kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu.

Sedianya, aturan tersebut tertuang pada Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan, sejak awal aturan tersebut sudah mendapatkan banyak kecaman. Pasalnya, hasil rapat atas konsultasi bersifat mengikat.

"Artinya, rancangan peraturan yang sudah disusun oleh KPU, sebagai salah satu kewenangannya, mesti "diperiksa" terlebih dahulu oleh DPR dan Pemerintah," ujar Fadli melalui keterangan tertulis, Senin (12/9/2016).

"Jika ada yang tidak sesuai menurut Pemerintah dan DPR, maka mereka akan mengeluarkan rekomendasi untuk mengubah ketentuan yang ada dalam rancangan peraturan KPU tersebut. Rekomendasi inilah yang bersifat mengikat, dan dimaknai 'wajib dituruti' oleh KPU," tambah dia.

Menurut Fadli, dilihat dari prinsip kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu, maka kewajiban konsultasi kepada DPR dan Pemerintah jelas sesuatu yang keliru.

Sebab, sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang dijamin kemandiriannya oleh Pasal 22E UUD 1945, penyusunan aturan teknis penyelenggaraan pilkada adalah salah satu kewenangan KPU yang tidak boleh diintervensi dan dicampuri oleh siapapun.

"Oleh sebab itu, lanjut dia, ketika ada kewajiban mengkonsultasikan Peraturan KPU kepada Pemerintah dan DPR di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, ini jelas suatu ketentuan yang inkonstitusional," kata dia.

Disamping itu, lanjut Fadli, jika melihat konstruksi Pasal 9A UU Nomor 10 Tahun 2016, yang mengatur tentang kewajiban mengkonsultasikan Peraturan KPU, disebutkan bahwa konsultasi dilakukan oleh KPU dengan DPR dan Pemerintah.

Dengan demikian, kata dia, proses konsultasi, dan hasil konsultasi yang dikeluarkan dalam bentuk rekomendasi kepada KPU, haruslah dikeluarkan atas nama kelembagaan DPR dan Pemerintah.

Pertanyaannya sekarang, apakah proses konsultasi, dan rekomendasi yang dikeluarkan itu sudah secara legal dan konstitusional dikeluarkan resmi atas nama DPR dan Pemerintah?

"Faktanya tidak, proses konsultasi hanya terbatas dilakukan oleh Komisi II DPR (alat kelengkapan) dan Dirjen Otonomi Daerah (wakil Kemendagri) bersama dengan KPU," kata dia.

Menurut Fadli, kalau ingin konsisten dengan UU Nomor 10 Tahun 2016, maka proses yang berlangsung selama ini jelas sebuah proses yang keliru dan tidak tepat.

Sebab, sebagaimana mandat dari Pasal 201 A UU Nomor 10 Tahun 2016, semestinya rekomendasi dari proses konsultasi dikeluarkan dalam bentuk dokumen formal dari lembaga DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang.

Ia menambahkan, melihat proses yang sudah berlangsung selama ini, khususnya konsultasi atas Peraturan KPU, Perludem meyakini telah terjadi pengikisan terhadap kemandirian penyelenggara pemilu.

Melihat tahapan Pilkada 2017 yang terus berjalan, lanjut Fadli, Perludem meminta kepada KPU untuk tetap terus menjaga kemandiriannya sebagai penyelenggara pemilu dan pelaksana amanat Konstitusi, dalam melaksanakan pemilu yang luber, jurdil, dan demokratis.

Kompas TV Cuti Petahana Lebay? - Satu Meja

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Nasional
Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Nasional
Sentil Prabowo yang Mau Tambah Kementerian, JK: Itu Kabinet Politis, Bukan Kabinet Kerja

Sentil Prabowo yang Mau Tambah Kementerian, JK: Itu Kabinet Politis, Bukan Kabinet Kerja

Nasional
Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

BrandzView
Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Nasional
KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

Nasional
Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Nasional
Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com