NUSA DUA, KOMPAS.com – Di Mongolia, warga negara asing bisa berperkara di mahkamah konstitusi negara itu. Seperti apa prosedurnya? Bagaimana pula dengan praktik di Indonesia?
“Kami (Mahkamah Konstitusi Mongolia) pernah mendapat kasus warga negara asing, tepatnya Rusia, yang mengajukan kasusnya karena merasa hak asasi individunya dilanggar,” ujar Jantsan Navaanperenlei, ketua delegasi Mongolia dalam Kongres ke-3 Mahkamah Konstitusi dan Lembaga Sejenis se-Asia (AACC), di Bali, Jumat (12/8/2016).
Menurut Navaanperenlei, undang-undang di negaranya memang memungkinkan warga asing berperkara di pengadilan konstitusi.
“Tertulis dalam undang-undang bahwa semua orang, baik warga Mongolia maupun warga negara asing (termasuk yang tidak memiliki kewarganegaraan Mongolia) yang berada di wilayah atau batas teritori Mongolia memiliki hak untuk mengajukan petisi maupun aduan ke mahkamah konstitusi. Mereka sama di muka hukum,” ungkap Navaanperenlei.
Meski begitu, lanjut Navaanperenlei, tak banyak perkara yang diajukan warga negara asing dikabulkan di mahkamah konstitusi negaranya.
“Kami sudah berpengalaman selama 25 tahun menjalankan undang-undang (tersebut). Dari hasil evaluasi, kinerja mahkamah konstitusi terkait aduan warga negara asing tidak meningkat. Artinya pengaduan yang ada memang tidak banyak,” imbuh Navaanperenlei.
“Ya, tentu termasuk (turis), karena mereka berada di wilayah teritori Mongolia. Namun, hingga saat ini belum pernah ada turis yang mengadukan gugatan. Tandanya, belum ada (turis) yang merasa hak-haknya dilanggar saat berada di negara kami,” jawab Navaanperenlei.
Menurut Navaanperenlei, praktik pengadilan konstitusi di negaranya banyak merujuk ke Korea Selatan, Rusia, dan Jerman. Karenanya, kata dia, sejumlah aturan dalam undang-undang terkait pengadilan konstitusi di sana yang tak berbeda dengan aturan di ketiga negara itu.
“Begitu juga undang-undang terkait pembelaan hak warga negara dan orang-orang yang berada di wilayah Mongolia. Apa yang kami jalankan sedikit banyak berdasarkan pengalaman tiga negara yang kami rujuk itu,” kata Navaanperenlei.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Merujuk Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, warga negara asing belum bisa berperkara di pengadilan konstitusi di Indonesia. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tidak mengubah ketentuan mengenai siapa yang bisa berperkara di pengadilan ini.
Merujuk Pasal 51 ayat 1 UU MK tersebut, pemohon yang memenuhi legal standing untuk berpekara di MK adalah perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.
Bagian penjelasan UU MK tentang pemohon ini hanya memberikan tambahan keterangan terkait perorangan warga negara Indonesia yang dapat berpekara di pengadilan ini. Di situ diterangkan, definisi perorangan juga mencakup kelompok orang dengan kepentingan yang sama.