JAKARTA, KOMPAS.com - Komisaris Jenderal Tito Karnavian menolak wacana pembentukan dewan pengawas Densus 88 Anti-Teror Polri. Alasannya, penghematan anggaran dan mekanisme pengawasan sudah ada.
Hal itu disampaikan Tito saat uji kepatutan dan kelayakannya sebagai calon kepala Polri di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Tito mengatakan, kerja Densus 88 Polri sudah diawasi banyak pihak seperti di internal oleh Irwasum dan Propam. Eksternal juga mengawasi seperti oleh Kompolnas, Komnas HAM, dan media massa.
Tito menambahkan, pemerintah kini tengah melakukan penghematan anggaran. Pemerintah juga tengah menyederhanakan birokrasi dengan mengurangi instansi yang tidak perlu.
"Jangan kita eforia tambah dewan yang sebetulnya tidak perlu dibuat," ucap Kepala Badan Nasional Pemberantasan Terorisme itu.
Wacana pembentukan dewan pengawas Densus 88 Polri muncul dalam revisi UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (baca: RUU Antiterorisme akan Atur Mengenai Dewan Pengawas)
Ketua Panitia Khusus revisi UU Anti-Terorisme, M Syafi'i menilai, tidak ada alasan bagi Polri untuk menolak wacana pembentukan dewan pengawas Densus 88.
Densus 88, menurut dia, harus diawasi khususnya terkait kinerja dan aliran dana yang diterima.
(baca: Ketua Pansus: Tak Ada Alasan Polri Tolak Dewan Pengawas Densus 88)
Syafi'i mengatakan, jika Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti tidak setuju pembentukan Dewan Pengawas, maka harus dijawab dari mana dana Rp 100 juta yang diberikan kepada keluarga almarhum Siyono.
Selain itu, menurut dia, Kapolri harus menjawab bagaimana pertanggungjawaban korban tewas terduga teroris sebanyak 121 orang tanpa proses pengadilan.
(baca: 121 Terduga Teroris Tewas, Ini Penjelasan Tito Karnavian)
"Kalau kinerja Densus 88 sesuai prosedur, ikuti hukum, lindungi HAM, dan aliran dana bisa dipertanggungjawabkan maka tidak perlu Dewan Pengawas. Namun, kinerjanya amburadul, asal tembak, dan dananya tidak mau diaudit," ujarnya.
"Kalau perlu Densus 88 disadap agar tahu standar prosedur siapa yang dipatuhinya. Jangan-jangan bukan untuk kepentingan Indonesia, tapi kepentingan asing," tambah dia.