JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak DPR dan pemerintah menghapus Pasal 43 B ayat (1) dan (2) draf revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pasal yang mengatur pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam pemberantasan terorisme dianggap tak relevan.
Direktur Imparsial Al Araaf selaku juru bicara koalisi menilai pelibatan TNI secara aktif rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan dapat merusak mekanisme criminal justice system (penegakan hukum).
(Baca: Ini Pasal yang Dianggap Kontroversial dalam Draf RUU Anti-Terorisme)
"Pemerintah dan DPR keliru jika melibatkan TNI dalam RUU Antiteror, seharusnya ketentuan melibatkan TNI diatur khusus dalam UU tentang tugas perbantuan TNI. Jika diatur dalam UU antiteror maka rentan terhadap pelanggaran HAM," ujar Al Araaf saat memberikan keterangan pers di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (21/6/2016).
Menurut Al Araaf upaya menanggulangi aksi terorisme harus tetap diletakkan dalam koridor penegakan hukum.
Karena itu, revisi UU antiterorisme harus tetap diletakkan dalam ranah model penegakan hukum pidana dan jangan sampai menggeser ke arah model perang (war model) dengan melibatkan militer secara aktif.
Jika itu terjadi maka upaya penanganan terorisme akan semakin eksesif dan represif serta berpotensi besar melanggar HAM. Dalam negara demokrasi, kata Araaf, harus ada batas jelas antara institusi penegak hukum dan institusi pertahanan negara.
Koalisi juga menilai klausul pelibatan TNI dalam RUU ini berpotensi membuka ruang keterlibatan TNI yang luas dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri. Hal tersebut bisa dilihat dari luasnya lingkup TNI dalam penanggulangan terorisme dan tidak rigidnya klausul pelibatan TNI.
Pasal 43 A ayat (3) disebutkan bahwa kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme mencakup pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, penyiapan kesiapsiagaan nasional dan kerja sama internasional.
(Baca: Ketua Pansus: Revisi UU Anti-Terorisme Akan Berkaca Kasus Siyono)
"Dengan luasnya lingkup penanggulangam terorisme dikhawatirkan akan menjadi cek kosong bagi TNI. Ketentuan ini bisa ditafsirkan secara luas bagi TNI untuk terlibat dalam semua aspek sipil yang terbungkus dalam dalih memberikam bantuan kepada Polri," kata Al Araaf.
Selain itu Al Araaf juga menyoroti persoalan akuntabilitas bila TNI terlibat dalam upaya pemberantasan terorisme. Pasalnya sampai saat ini peradilan militer tidak mengatur secara jelas mengenai mekanisme akuntabilitas jika muncul dugaan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kewenangan.
"Karena tidak ada mekanisme akuntabilitas dalam peradilan militer, jadi bila ada indikasi pelanggaran HAM maka sulit untuk mengusutnya," ungkapnya.