Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

YLKI Minta Pemerintah Fokus Ungkap Jaringan Kartel Daripada Impor Daging Beku

Kompas.com - 12/06/2016, 03:00 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyangsikan jika nantinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menambah kuota impor daging sapi. Pasalnya, hingga kini harga daging sapi yang sedianya dijual sekira Rp 80.000 per kg justru bertengger di kisaran Rp 115.000 per kg.

"Bahkan, di sejumlah daerah sudah melewati angka di atas Rp 130.000 per kg," Kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, melalui keterangan tertulis, Jumat (10/6/2016).

Hal ini tentu semakin memberatkan masyarakat menengah bawah untuk bisa membeli daging sapi, karena, tidak terjangkau.

Maka dari itu, lanjut Tulus, alternatif untuk menstabilkan harga daging di pasaran adalah dengan menggelontorkan kuota impor daging sapi dengan lebih banyak.

"Untuk momen yang sangat pendek, sudah bisa ditebak yang akan diimpor pasti daging sapi beku," kata dia. "Yakni 10.000 ton daging sapi."

Menurut Tulus, pilihan impor daging sapi beku lebih tepat dari pada impor hewan sapi. Karena, butuh waktu 3 hingga 4 bulan hingga sapi layak dipotong.

Terkait dengan impor daging sapi beku ini, Tulus menilai, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan.

Pertama, selera konsumen di Indonesia secara umum tidak suka dengan daging sapi beku. Tapi lebih suka daging sapi segar (fresh meat). "Akibatnya daging sapi beku sepi peminat, tidak laku" kata dia.

Kedua, kandungan air di dalam daging sapi beku terlalu tinggi, yakni, mencapai 20-30 persen. "Kalau konsumen membeli 1 kg daging sapi beku, sebenarnya volume dagingnya hanya 7-8 ons saja. Karena yang 2-3 ons adalah berisi air, dan menyusut," tutur Tulus. 

Jadi, harga daging sapi beku sebenarnya tidak murah. Bahkan, justru merugikan konsumen karena mengalami penyusutan volume.

Ketiga, Lanjut Tulus, daging sapi beku juga cenderung merugikan pedagang tradisional. Menurut dia, rata-rata pedagang tradisional tidak mempunyai lemari pendingin (cold storage) untuk menyimpan daging sapi beku.

Jika dijual secara terbuka, daging sapi beku hanya tahan maksimal 3 jam saja.  Lebih dari itu akan mencair, dan merusak kualitas daging.

Lebih jauh, Tulus menduga, penyebab mahalnya harga daging sapi karena adanya kartel yang berperan memainkan harga.

"Dugaan kartel daging  sapi pada 2015 dan telah mendapatkan peringatan dan bahkan di denda KPPU. Jika kali ini masih ditemui, maka, sudah saatnya perusahaan tersebut di pidanakan saja, sebagai tindak pidana ekonomi," kata dia.

Maka dari itu, kata Tulus, YLKI meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera mengumumkan importir/feedlooter yang terbukti melakukan kartel daging sapi.

Selain itu, pemerintah harus juga memangkas rantai distribusi daging sapi yang terlalu panjang dan adanya dugaan "midle man" (alias calo) pada setiap mata rantai distribusi tersebut. Hal ini sejalan dengan upaya swasembada daging sapi.

"Swasembada daging sapi bisa dilakukan, jika pemerintah serius melakukan pendampingan dan memberikan insentif pada peternak lokal," ujarnya.

Kompas TV Petugas Gagalkan Penyelundupan Daging Sapi Impor
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com