JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Sujatmiko meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempertimbangkan kembali sikapnya yang menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri.
Ia menjelaskan, penerapan hukuman kebiri merupakan upaya pemerintah dalam melindungi korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak-anak.
Penerapan hukuman tersebut telah melalui berbagai pertimbangan, salah satunya dari sisi kemanusiaan dan tidak ditujukan semata-mata untuk menyakiti pelaku kekerasan seksual.
"Kami menghormati kode etik yang dimiliki oleh IDI. Cuma yang penting marilah berpikir untuk kebaikan para korban kekerasan seksual. Kebiri diterapkan agar tidak jatuh korban yang lebih banyak. IDI seharusnya melihat dari sudut pandang itu," ujar Sujatmiko, saat dihubungi, Jumat (10/6/2016).
(Baca: Kemenko PMK: IDI Seharusnya Melihat Hukuman Kebiri dari Sudut Pandang Penegakan Hukum)
Lebih jauh, Sujatmiko mengatakan, vonis hukuman kebiri terhadap pelaku tidak begitu saja diputuskan oleh hakim.
Hakim harus melakukam berbagai macam pertimbangan dengan mendengarkan pendapat para ahli medis dan kejiwaan.
Hukuman kebiri akan diberikan melalui suntikan kimia dan dibarengi dengan proses pendampingan atau rehabilitasi.
Proses pendampingan tersebut untuk menjaga pelaku tidak mengalami efek negatif lain selain penurunan libido.
Suntikan kimia ini sifatnya tidak permanen. (Baca: IDI Tolak Jadi Eksekutor Hukuman Kebiri, Pukulan Telak bagi Pemerintah)
Menurut Sujatmiko, efek suntikan ini hanya muncul selama tiga bulan.
Oleh karena itu, suntikan kimia akan diberikan secara berkala kepada pelaku melalui pengawasan ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan.
"Pendampingan itu ada. Kami juga akan lakukan evaluasi. Jangan sampai suntikan memberi dampak negatif lain, selain melemahkan dorongan seksualnya. Maka saya minta ini juga diperhatikan. Tujuannya ini kan mulia," kata dia.
(Baca: Ikatan Dokter Tolak Jadi Eksekutor Hukuman Kebiri)
Sebelumnya IDI menyatakan menolak untuk menjadi eksekutor hukuman kebiri. Ketua Umum IDI Ilham Oetama mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Marsis menegaskan, IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.
Namun, mereka menolak dilibatkan dalam pelaksanaan hukuman kebiri atau menjadi eksekutor.
Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dr Priyo Sidipratomo, mengatakan, dokter tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diajak.
Hal itu disebutkan dalam sumpah dokter.