Pantaskah para pemerkosa dikebiri? Apakah etis? Apakah efektif? Inikah solusi yang dinantikan? Dengan aturan hukum yang baru, bisakah negara berhasil mengontrol libido para predator seks?
Sebelum ke situ, marilah kita pahami kemarahan warga. Berita pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yn, siswi SMP di Rejang Lebong itu dengan cepat menjadi pembicaraan publik. Saking sadisnya, banyak yang tak kuasa untuk mengklik tautan terkait berita-berita Yn.
Yn adalah seorang siswi SMP di Desa Padang Ulak Tanding, Kecamatan Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Pada pertengahan April 2016, Yn diperkosa 14 pemuda saat pulang sekolah. Yn ditemukan tewas di dalam jurang.
Terlalu “ngilu” untuk merasakan pedihnya derita Yn dan tak kuasa membayangkan bagaimana jika Yn adalah sebenarnya anak kita. Ya, bagi mereka yang (terutama, tapi tak terbatas) telah memiliki anak, membaca kasus pemerkosaan dan pembunuhan ini akan disertai dengan ketakutan.
Ketakutan menghadapi semakin liarnya dunia luar, bagaimana kita bisa membesarkan anak-anak kita, bebas dari ancaman predator seks? Bagaimana kita memastikan, bahwa di lingkungan kita telah aman dari para paedofil atau aman dari residivis pemerkosa?
Tahukah Anda, atau yakinkah Anda, bahwa para pemerkosa dan pembunuh Yn itu baru sekali melakukan kejahatan seksual? Ataukah justru kita lebih yakin bahwa sebenarnya para pelaku itu sudah berkali-kali melakukan kejahatan seksual sebelumnya?
Untuk makin memahami tingkat kepiluan para orangtua, mari kita simak kasus paedofilia di Kediri, Jawa Timur, yang dilakukan oleh seorang pengusaha. Pada kasus ini, jelas bahwa para korbannya adalah anak-anak di bawah umur.
Baca Topik Pilihan: Kasus Paedofilia di Kediri
Selain korbannya anak-anak, jumlah korban juga tak sedikit. Di beberapa media, bahkan disebutkan jumlahnya mencapai puluhan anak dan kasusnya berulang.
Walaupun untuk kasus yang sudah disidangkan dan sudah divonis, jumlah pelapor yang berani melapor hingga ke pengadilan hanya beberapa orang. Sisanya merasa takut karena harus berurusan dengan "orang kuat" di Kediri.
Untuk kasus yang di Kediri ini, yakinkah Anda saat pelaku dibebaskan dari penjara, dia tak akan mengulangi perbuatannya? Yakinkah Anda, para pemerkosa dan pembunuh Yn jika nanti sudah bebas, tak lagi mencari korban-korban baru lagi?
Akhirnya, hukuman tambahan terhadap para pemerkosa anak-anak telah tersedia. Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi (bukan kebiri secara fisik atau bedah), pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, hukuman tambahan yang diatur dalam Perppu tersebut akan menyasar pelaku kejahatan seksual dengan kondisi khusus. "Nanti hakim lihat fakta-fakta dan itu diberikan kepada pelaku berulang, pelaku beramai-ramai, paedofil pada anak-anak. Bukan pada sembarang," kata Yasonna.
Baca: Hukuman Kebiri Menyasar Kejahatan Seksual Berulang, Beramai-ramai, dan Paedofil
Maka, pro dan kontra pun menyeruak terkait pemberlakuan hukuman tambahan berupa kebiri ini. Ada yang tak setuju dengan alasan hak asasi manusia, ada pula yang merasa kenapa bukan langsung hukuman mati saja.
Ada pula yang berpendapat, hukuman tambahan ini tak menjawab persoalan perlindungan anak. Kritik ini bukan tanpa alasan. Perppu ini sebenarnya ditunjukkan untuk perlindungan anak. Namun, isi perppu justru miskin dengan regulasi dan kewajiban terkait perlindungan anak. Dalam konteks ini, memang ada yang salah sasaran dengan perppu ini.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, ancaman hukuman yang bertujuan memberikan efek jera tak cukup untuk menekan tindak kejahatan seksual.
"Daripada cuma bermain dengan mantera-mantera efek jera harusnya perkuat aspek rehabilitasi bagi korban dan pelaku, itu lebih mendesak," ujar Supriyadi. Baca: Perppu Seharusnya Perkuat Aspek Rehabilitasi bagi Korban dan Pelaku Kekerasan Seksual
Kritik ICJR memang mendesak untuk didengar karena perppu tersebut terlalu fokus ke pelaku. Bagaimana nasib korban, apa yang harus dilakukan untuk memulihkan dan merehabilitasi kondisi korban, tak banyak disinggung di perppu.
Dar pantauan Aliansi 99 bersama ICJR, berdasar layanan Medis dan Rehabilitasi Psikologis dan Psikososial bagi seluruh korban kejahatan yang ditangani Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selama 2011-2014, jumlah yang dilayani 2.317 layanan. Jumlah itu sudah mencakup seluruh korban dewasa dan anak untuk semua jenis tindak pidana.
Dari angka itu, yang mendapat layanan medis dan rehabilitasi psikologis dan psikososial dari LPSK ternyata tak mencapai 3 persen. Perppu Perlindungan Anak telah ditandatangani, namun bagaimana negara dengan perangkatnya akan memulihkan dan merehabilitasi anak-anak korban kekerasan seksual itu?
Fenomena narkolema
Banyak hal yang bisa dilakukan semua pihak di tingkat pencegahan. Banyak aspek yang belum diperhatikan untuk bagaimana memastikan lingkungan kita secara cepat memiliki respons atau memiliki sistem peringatan dini terhadap kasus-kasus seperti ini.