JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Arman Depari mengatakan, eksekusi mati terpidana narkotika tidak akan memutus rantai pembongkaran kasus peredaran narkotika di Indonesia.
Menurut Arman, sebelum eksekusi mati dilakukan, ada rentang waktu yang cukup untuk menggali informasi.
"Hukuman mati itu bukan satu dua bulan terlaksananya. Sekian tahun dan mereka sudah dipenjara," kata Arman di BNN, Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Arman mengatakan, eksekusi mati tidak akan menguntungkan bandar besar. Walau demikian, kata dia, menangkap bandar besar tidak bisa dilakukan secara cepat, terlebih yang terlibat dalam jaringan internasional.
(baca: Jumlah Napi Narkotika Bertambah, Eksekusi Mati Dinilai Tak Timbulkan Efek Jera)
"Menangkap bandar besar kan butuh waktu," kata Arman.
Arman berharap eksekusi hukuman mati dilaksanakan agar tidak ada lagi korban yang jatuh akibat narkotika.
Sebelumnya, Pejabat Sementara (Pjs) Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz mengatakan, eksekusi mati bagi narapidana narkotika justru memutus mata rantai pembongkaran kasus peredaran narkotika di Indonesia.
(baca: "Bandar Besar Diuntungkan Eksekusi Mati Terpidana Narkotika")
"Coba lihat, kebanyakan yang tertangkap dan akhirnya dieksekusi mati itu kan kurir, bukan bandar besarnya. Kalau begitu, yang diuntungkan ya bandar besarnya karena, begitu kurirnya dieksekusi mati, seluruh pintu informasi ke bandar besar otomatis tertutup," kata Hafiz.
HRWG dan bersama sejumlah organisasi lain merespons rencana pemerintah melakukan eksekusi mati gelombang ketiga terhadap terpidana mati kasus narkotika.
Selama pemerintahan Joko Widodo, pemerintah sudah menjalankan eksekusi terpidana mati kasus narkoba dalam dua gelombang.
(Baca: Polda Jateng: 15 Narapidana Akan Dieksekusi Mati pada Pertengahan Bulan Mei)
Enam terpidana mati dieksekusi pada 18 Januari 2015. Pada gelombang kedua, Rabu (29/4/2015), delapan terpidana mati juga dieksekusi.