JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Panitia Khusus (Pansus) revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Ahmad Syafii mengakui bahwa saat ini masih ada pro dan kontra dalam menyikapi draf RUU yang diajukan oleh pemerintah.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah aturan mengenai penahanan terduga teroris yang bisa hingga enam bulan.
"Ini mengkhawatirkan. Apakah tidak melanggar HAM? Apakah itu tidak melanggar hukum? Ini akan kami kaji dengan hati-hati dan komprehensif," kata Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (20/4/2016).
Untuk menghadapi pro dan kontra ini, Syafii memastikan bahwa Pansus RUU Anti-Terorisme akan bekerja dengan sangat hati-hati.
Mulanya, Pansus akan mengundang Kementerian Hukum dan HAM untuk memaparkan urgensi RUU ini. (baca: Ketua Pansus: Revisi UU Anti-Terorisme Akan Berkaca Kasus Siyono)
Setelah itu, Pansus akan memanggil Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara.
Tak lupa, Pansus juga akan mengundang dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, semua ormas keagamaan, asosiasi korban teroris, forum mantan teroris, pengamat terorisme, forum rektor dan pakar hukum tata negara.
"Semua yang terkait penanganan teroris kami undang," kata Politisi Partai Gerindra ini.
Dengan masukan dari berbagai pihak, Syafii optimistis Pansus bisa melahirkan RUU yang bisa efektif memerangi terorisme. (baca: Ini Penjelasan Tito tentang Jaringan ISIS di Indonesia)
Namun, di sisi lain RUU itu juga bisa meminimalkan atau bahkan menghilangkan potensi aparat penegak hukum melakukan pelanggaran HAM.
Dia berharap, kelalaian yang dilakukan penegak hukum seperti kematian terduga teroris Siyono tak terjadi lagi kedepannya. (baca: Kata Kapolri, Tewasnya Siyono Buat Sulit Telusuri Gudang Senjata Jamaah Islamiyah)
"Perang terhadap teroris dilanjutkan, tapi tidak dengan pelanggaran hukum dan harus hormati HAM," ucap Syafii.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tito Karnavian sebelumnya mengakui bahwa revisi UU Anti-Terorisme menuai dilema.
(baca: Kepala BNPT Tito Karnavian: Jika "Civil Liberty" Dikorbankan Sedikit, "Why Not?")
Di satu sisi, ada kepentingan keamanan nasional yang harus dijaga. Namun, di sisi lain, penjagaan atas kepentingan nasional itu bukan tidak mungkin mengganggu kebebasan warga sipil.
Salah satu poin revisi yang disebut-sebut akan mengganggu kebebasan warga sipil adalah masa tahanan dan penangkapan yang diusulkan diperpanjang. Semula masa tahanan hanya tujuh hari, diwacanakan menjadi enam bulan.
"Ada kasus Thamrin, ada serangan Lahore, ada orang Uighur yang ada di Poso. Di Poso sendiri ada dinamika. Kemudian ada ratusan orang berangkat ke Suriah yang akan kembali. Ini semua ancaman," ujar Tito di Jakarta, Selasa (19/4/2016).
"Maka jika itu dianggap civil liberty harus dikorbankan sedikit, di antaranya dengan menambah masa penangkapan dan penahanan? Why not?," ujar Tito.
Namun, pihaknya tetap menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada Panitia Khusus (Pansus) di DPR RI yang akan membahas hal tersebut.