Hal itu diungkapkan dari hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik (Kedai Kopi) yang dilakukan mulai 29 Februari hingga 1 Maret 2016.
"Karakter ideal ketum Golkar yang disukai publik adalah yang tidak terlibat skandal korupsi," Juru Bicara Kedai Kopi Hendri Satrio di Jakarta, Kamis (3/3/2016).
Selain bebas dari korupsi, publik juga menilai figur yang paling ideal menjadi ketua umum Golkar adalah sosok yang juga tak pernah terlibat skandal hukum. Sebanyak 20 persen publik menilai sosok tersebut ideal.
(Baca: Ini Profil 10 Calon Ketum Golkar)
Adapun sebanyak 10,4 persen publik menganggap sosok ketua umum ideal adalah yang bersedia mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya jika terpilih menjadi ketua umum partai berlambang pohon beringin tersebut.
Hasil survei sosok ketua umum ideal ini tak jauh berbeda dengan hasil survei lainnya yaitu terkait harapan publik terhadap ketua umun terpilih. Sebagian besar publik menginginkan ketua umum terpilih Golkar nantinya tak merangkap jabatan.
"Harapan 42,9 persen publik tentang Ketua Umum terpilih Golkar adalah sebaiknya tidak merangkap jabatan," kata Hendri.
Pada urutan kedua, sebanyak 13,83 persen publik berharap ketua umum terpilih harus mengundurkan diri dari jabatannya yang lain.
Survei dilakukan terhadap 500 orang responden yang tersebar proporsional ke seluruh Indonesia. Responden merupakan pengguna telepon yang dipilih secara acak (probability sampling), menggunakan metode sampel acak sistematis.
Adapun tingkat margin of error sebesar 4,38 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sementara itu, pengumpulan data dilakukan mulai 29 Februari hingga 1 Maret 2016 melalui telepon dan menggunakan kuisioner terstruktur.
Potensi politik uang
Menanggapi hasil survei publik yang menganggap ketua umum terpilih Golkar harus bersih dari korupsi, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz melihat kontestasi pemilihan ketua umum Golkar memang berpotensi ramai dengan politik uang.
Ia melihat, Golkar merupakan partai yang memiliki banyak faksi dengan sejumlah tokoh yang potensial untuk memimpin partai. Berbeda dengan beberapa partai politik lain yang cenderuk sentralistik pada satu tokoh. Dampak negatif dari kondisi tersebut, kata Donal, adalah memunculkan kontestasi yang kuat, namun bertumpu pada politik uang.
"Kalau parpol lain ketika hanya ada satu ketokohan, kontestasi tidak terbangun di internal partai," tutur Donal.
"Ketika (kontestasi) itu terjadi, orang akan berpikir untuk memenangkannya. Salah satunya menyuap para pengurus yang punya hak suara," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.