Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kodifikasi dalam Revisi KUHP Dianggap Kemunduran dalam Penegakan Hukum

Kompas.com - 15/09/2015, 22:38 WIB
Dylan Aprialdo Rachman

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita menilai keberadaan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diusulkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru akan merusak kepastian hukum di Indonesia. Ia menilai jika revisi KUHP disetujui, Indonesia akan mengalami kemunduran dalam penegakan hukum.

“Kita sudah sejak tahun 1955 sudah keluar dari kodifikasi total (pembukuan jenis-jenis hukum dalam satu kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap). Menurut saya ini justru kita menarik mundur sejarah, Padahal yang kita tarik ini aturan loh, yang sudah mengikat publik,” ujar Romli dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Menurut Romli, tindak pidana khusus, seperti kejahatan HAM, korupsi, perdagangan manusia, terorisme, pencucian uang, dan kejahatan narkotika tidak bisa disamakan dan disatukan dengan tindak pidana umum yang sudah diatur dalam KUHP. Adapun tindak pidana umum itu seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan perampokan. Romli menilai langkah tersebut akan memperparah ketidakadilan hukum di Indonesia.

“Artinya kalau kita ingin membawa ke kodifikasi total itu akan lebih tidak adil dan tidak pasti lagi. Kalau kita masih menganggap narkoba, korupsi, human trafficking, kejahatan HAM, sebagai kejahatan yang khas, ya jangan ke kodifikasi total,” kata dia.

Romli meminta pemerintah dan DPR untuk mengembalikan tindak kejahatan tersebut ke dalam aturan tindak pidana khusus yang telah tersusun saat ini, dan tidak disatukan dalam revisi KUHP. Menurut Romli, pembagian tindak pidana umum dan tindak pidana khusus secara terpisah (kodifikasi parsial) merupakan langkah yang sudah tepat.

Lebih lanjut, penyatuan tindak pidana umum dan khusus ke dalam revisi KUHP membuat hukum di Indonesia tidak bisa beradaptasi dengan potensi kejahatan-kejahatan baru yang akan muncul di masa depan. Salah satu kejahatan itu adalah kejahatan dunia maya atau cybercrime yang semakin berkembang saat ini.

“Belum lagi nanti potensi-potensi kejahatan cyber, kan susah kalo misalkan diubah-ubah lagi. Jadi kita sudah benar, Hal-hal seperti terorisme, korupsi, pencucian uang, human trafficking keluarkan saja sudah (dari revisi KUHP), nanti persoalan politisnya Komisi III DPR bisa menanggung malu sudah mengesahkan UU tindak pidana khusus tiba-tiba diubah lagi,” ujarnya.

Pasal pengaman

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menyarankan agar revisi KUHP dilengkapi dengan pasal pengaman jika disetujui oleh DPR. Hal tersebut merupakan cara untuk melindungi lembaga-lembaga penegak hukum dari upaya pelemahan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Seandainya terjadi kodifikasi total, kita akan buat pasal-pasal pengaman agar lembaga-lembaga hukum tidak dilemahkan. Apakah itu di ketentutan penutup dan ketentuan peralihan,” kata dia.

Namun politisi dari Partai Persatuan Pembangunan tersebut menilai hukum di Indonesia lebih baik menganut sistem kodifikasi terbuka dibandingkan kodifikasi tertutup. Menurut dia, pemisahan tindak pidana khusus dan tindak pidana umum merupakan langkah yang sudah tepat.

“Kalau KUHP sering-sering diamandemen itu nantinya, pembuat KUHP ini terkesan tidak mampu berpikir jangka panjang jauh ke depan,” kata dia.

Arsul menyebutkan bahwa pembahasan revisi KUHP saat ini merupakan salah satu bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR Periode 2015-2019. DPR akan melakukan sejumlah revisi aturan-aturan hukum di Indonesia secara bertahap sebagai upaya penataan sistem peradilan pidana secara terpadu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com