JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut Dana Moneter Internasional (IMF) berdosa besar dalam sejarah perekonomian nasional. Saat krisis 1998 berlangsung, IMF dinilainya justru menjerumuskan Indonesia.
"Kita pada waktu itu terlalu percaya kepada IMF. Waktu itu saya ketemu Lagarde (Direktur Pelaksana IMF), saya bilang 'Anda punya dosa yang tinggi, Anda ingin selesaikan sesuatu dengan moneter saja'," kata Kalla saat menghadiri bedah buku Reinventing Indonesia di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Rabu (9/9/2015).
Reinventing Indonesia merupakan buku yang ditulis mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Prof Ginandjar Kartasasimeta bersama dengan penasihat ekonomi dari Harvard Institute for International Development Prof Joseph J Stern. (baca: IMF dan "Malapraktik" Ekonomi Indonesia pada 1998)
Menurut Kalla, kesalahan pemerintah ketika itu terlalu mempercayai IMF dalam menghadapi gejolak perekonomian. Akibat berutang kepada IMF, negara harus membayarkan utang tersebut beserta bunganya dalam jangka panjang.
"Jadi akhirnya di Indonesia pada waktu itu berkejaran lah bunga dengan inflasi. Padahal bunga itu bagian dari ongkos sehingga kalau tinggi bunga, maka tinggi inflasi juga. Tidak bisa selesai, yang terjadi ya kejar-kejaran, makin tinggi bunga, makin susah kita. Itu, terlalu percaya kepada IMF," ucap Kalla.
Wapres kembali menyinggung kesalahan pemerintah yang menjamin perbankan pada 1998 sehingga berujung pada skandal utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut Kalla, kebijakan blanket guarantee (penjamin secara menyeluruh) rawan disalahgunakan. (baca: "IMF Bagaikan Rumah Sakit yang Makin Membuat Pasien Sekarat")
Akibat kebijakan itu, para pengusaha seolah merampok bank-nya sendiri dan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang membayarkan kewajiban akan utang para pengusaha perbankan tersebut.
"Semua orang merampok banknya sendiri dan minta dibayar pemerintah. Itu sampai sekarang ini, Fadel (Muhammad) tahu di anggaran berapa bunga yang sampai sekarang, 20 tahun, masih dibayar, Rp 190 triliun. Sampai sekarang dan tidak tahu kapan berakhirnya. Itu lah sisa karena kesalahan kebijakan," papar Kalla.
Atas dasar pengalaman itu, Kalla menentang keras usulan agar pemerintah melakukan buyback guarantee. Penjaminan semacam itu, kata Kalla, merupakan sumber yang menghancurkan perekonomian nasional. Kebijakan semacam itu juga dianggapnya telah melegalkan perampokan. (baca: Jokowi: IMF Nilai Indonesia Siap Hadapi Gejolak Ekonomi)
"Sehingga mudah-mudahan ini tidak pernah terjadi lagi, sangat berisiko sekali. Bayangkan, kita menjamin bank asing, bank orang paling kaya, apa urusannya kita menjamin seperti itu?" ucap Kalla.
Wapres juga menekankan perlunya meningkatkan produktivitas dalam negeri sehingga negara tidak lagi terlalu bergantung kepada investasi asing. Dengan cara itu, lanjut dia, perekonomian nasional akan memiliki daya tahan yang tinggi.