Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Bangsa Kita Pandai Mengelola Perbedaan"

Kompas.com - 15/08/2015, 13:23 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Mochtar Pabottinggi menilai, sudah sejak lama Bangsa Indonesia hidup dalam perbedaan. Sehingga, isu-isu perbedaan yang kerap dihembuskan pihak tertentu, dianggap sulit untuk meretakkan persatuan yang telah terbangun.

"Bangsa kita dari ratusan tahun lalu sudah terbiasa hidup dalam perbedaan, dan terbiasa mengelola perbedaan itu," kata Mochtar saat diskusi bertajuk 'Membaca 70 Tahun Indonesia' di Jakarta, Sabtu (15/8/2015).

Hadir dalam diskusi itu wartawan senior Kompas, Ninok Leksono, peneliti Survei Meter Teguh Yudo dan pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto. Mochtar pun membandingkan kondisi Indonesia dengan Uni Soviet ketika dilanda krisis.

"Pada tahun 2001 saya bertemu dengan seorang profesor dari Rusia yang mengatakan Indonesia akan collapse mengikuti jejak Uni Soviet," ujarnya.

Kondisi ekonomi Indonesia pasca krisis 1998 memang cukup terpuruk. Nilai tukar rupiah terhadap dollar pun melemah cukup tajam. Kondisi ekonomi saat itu juga tidak berbeda jauh dengan kondisi ekonomi saat ini.

Namun, ia mengatakan, ada perbedaan mendasar antara Indonesia dan Uni Sovyet. Sebagai Uni, Soviet sejak awal merupakan gabungan sejumlah negara.

Ketika negara itu hancur, maka negara-negara yang awalnya bergabung, akan kembali ke posisi lama mereka.

"Indonesia beda. Ketika mesinnya tidak berfungsi, mereka tidak memiliki negara lain untuk keluar. Lalu mereka mau ke mana? Mereka akan kembali ke Indonesia," ujarnya.

Sementara itu, Ninok mengatakan, perbedaan merupakan penghargaan tertinggi yang dimiliki Indonesia sejak merdeka hingga saat ini. Kepiawaian para pemimpin Indonesia dalam mengelola perbedaan tersebut, membuat negara ini sulit untuk dipecah belah.

"Saya bertemu dengan seorang profesor dari Columbia University yang kagum dengan Indonesia. 'Enggak mungkin perbedaan dikelola sebaik itu'. Itulah achievement 70 tahun Indonesia," katanya.

Peneliti Survei Meter, Teguh Yudo mengatakan, bukan kali ini saja Indonesia diprediksi oleh sejumlah kalangan akan hancur. Kondisi ekonomi yang lemah lah yang membuat banyak kalangan memprediksi hal itu.

"Tahun 1960-an diprediksi besar akan bubar tetapi sebaliknya. Lalu waktu krisis 1998 juga, tetapi sebaliknya justru ekonomi kita tumbuh dan kita bisa masuk G-20," ujarnya.

Menurut Yudo, krisis ekonomi sedikit banyak justru memberikan efek positif menyatukan perbedaan yang terjadi. Sehingga kecil kemungkinan Indonesia akan hancur akibat krisis ekonomi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU DKI Jakarta Mulai Tahapan Pilkada Juni 2024

KPU DKI Jakarta Mulai Tahapan Pilkada Juni 2024

Nasional
2 Hari Absen Rakernas V PDI-P, Prananda Prabowo Diklaim Sedang Urus Wisuda Anak

2 Hari Absen Rakernas V PDI-P, Prananda Prabowo Diklaim Sedang Urus Wisuda Anak

Nasional
Covid-19 di Singapura Tinggi, Kemenkes: Situasi di Indonesia Masih Terkendali

Covid-19 di Singapura Tinggi, Kemenkes: Situasi di Indonesia Masih Terkendali

Nasional
Ganjar Ungkap Jawa, Bali, hingga Sumut jadi Fokus Pemenangan PDI-P pada Pilkada Serentak

Ganjar Ungkap Jawa, Bali, hingga Sumut jadi Fokus Pemenangan PDI-P pada Pilkada Serentak

Nasional
Kemenkes Minta Masyarakat Waspada Lonjakan Covid-19 di Singapura, Tetap Terapkan Protokol Kesehatan

Kemenkes Minta Masyarakat Waspada Lonjakan Covid-19 di Singapura, Tetap Terapkan Protokol Kesehatan

Nasional
Pastikan Isi Gas LPG Sesuai Takaran, Mendag Bersama Pertamina Patra Niaga Kunjungi SPBE di Tanjung Priok

Pastikan Isi Gas LPG Sesuai Takaran, Mendag Bersama Pertamina Patra Niaga Kunjungi SPBE di Tanjung Priok

Nasional
Disindir Megawati soal RUU Kontroversial, Puan: Sudah Sepengetahuan Saya

Disindir Megawati soal RUU Kontroversial, Puan: Sudah Sepengetahuan Saya

Nasional
Diledek Megawati soal Jadi Ketum PDI-P, Puan: Berdoa Saja, 'Insya Allah'

Diledek Megawati soal Jadi Ketum PDI-P, Puan: Berdoa Saja, "Insya Allah"

Nasional
Kemenko Polhukam: Kampus Rawan Jadi Sarang Radikalisme dan Lahirkan Teroris

Kemenko Polhukam: Kampus Rawan Jadi Sarang Radikalisme dan Lahirkan Teroris

Nasional
BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

Nasional
Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Nasional
Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Nasional
Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Nasional
DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

Nasional
Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com