"Tanpa ada pasal penghinaan Presiden, ketika ada penghinaan, Presiden bisa menuntut dengan pasal penghinaan biasa. Pasal penghinaan hanyalah pemberatan pasal biasa," ujar peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (6/8/2015).
Menurut Arsil, pasal penghinaan terhadap Presiden sebenarnya diadopsi dari hukum Belanda, yang mengatur pasal penghinaan terhadap Ratu. Dalam sistem pemerintahan di Belanda, Ratu merupakan simbol negara, sehingga perlu dijaga kehormatannya. Arsil mengatakan, pasal tersebut tidak cocok dan berbahaya jika diterapkan di Indonesia.
Salah satu yang membahayakan adalah ancaman pidana yang diatur dalam pasal tersebut. Adapun pasal yang biasa digunakan dalam penghinaan adalah Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP. Pasal-pasal tersebut memiliki ancaman pidana kurungan di bawah lima tahun. Sementara, dalam Pasal 263 Rancangan Undang-Undang KUHP, mencantumkan sanksi pidana berupa penjara paling lama lima tahun.
Menurut undang-undang, seorang tersangka dengan ancaman sanksi minimal lima tahun sudah dapat dilakukan penahanan. Hal ini yang dikhawatirkan dapat dengan mudah menjerat siapa pun, khususnya para aktivis saat mengkritik kebijakan Presiden.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, pasal tersebut merupakan pasal karet yang dapat disalahgunakan untuk memidanakan seseorang. Menurut dia, pasal tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi di Indonesia.
"Penghinanan berbeda tipis dengan kritik. Orang tidak mengetahui batasan dalam memberi kritik. Pasal penghinaan bisa digunakan untuk mengekang kritik dan pendapat terhadap Presiden," kata Erasmus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.