Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jimly: Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal

Kompas.com - 04/08/2015, 20:46 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie tidak sepakat dengan rencana pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal yang tak lagi relevan dengan era demokrasi.

"Mereka anggap presiden itu simbol suatu negara. Itu teori feodal yang anggap presiden itu lambang negara," ujar Jimly di Istana Kepresidenan, Selasa (4/8/2015).

Menurut dia, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah "Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika", dan bukan presiden.

Jimly menceritakan, pada tahun 2006 lalu, MK yang dipimpinnya memutuskan menghapus pasal penghinaan kepada presiden karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang dibawa pada era demokrasi. Saat itu, lanjut dia, Indonesia dipuji oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Indonesia bahkan dianggap telah melampaui peradaban di negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan Belanda, yang masih menerapkan pasal penghinaan terhadap presiden. Jimly menuturkan, meski di negara-negara itu masih ada pasal penghinaan kepala negara, namun tidak pernah digunakan karena peradaban yang semakin maju.

"Ngapain seorang presiden urusin fotonya diinjak? Enggak usah diurusin! Masa diinjek foto sendiri sedikit saja tersinggung," kata Jimly.

Jimly khawatir apabila pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan lagi, maka budaya feodal yang ada di Indonesia akan kembali hidup. Kekhawatiran itu timbul manakala penegak hukum menjadi terlalu sensitif pada setiap penentangan terhadap kepala negara yang masih dianggap sebagai simbol negara itu.

"Begitu dia lihat fotonya presiden, 'wah presiden saya marah nih, langsung lah'. Nah itu merusak kebebasan berpendapat. Kalau jadi presiden, harus siap dikritik. Kalau nggak, ya jangan," ujar Jimly.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com