JAKARTA, KOMPAS.com — Forum Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyepakati mekanisme pemilihan rais am (ketua umum) PBNU dipilih secara musyawarah untuk mufakat oleh Ahlul Halli wal Aqdi (semacam dewan pengambil keputusan). Dengan begitu, dalam Muktamar ke-33 NU nanti, tidak ada voting dalam hal pemilihan rais am.
"Pemilihan rais am secara otomatis akan diterapkan dalam muktamar yang akan dilaksanakan bulan Agustus mendatang," ucap pimpinan sidang Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Ishomuddin, di Jakarta, Senin (15/6/2015).
Ishomuddin menjelaskan, di NU, munas adalah forum permusyawaratan tertinggi kedua setelah muktamar. Menurut dia, dari 34 pengurus wilayah NU, sebanyak 27 di antaranya hadir sebagai peserta. Ini ditambah anggota pleno PBNU yang terdiri dari pengurus harian Syuriyah, Tanfidziyah, A’wan, dan Mustasyar, serta Ketua Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom.
Munas Alim Ulama NU, kata Ishomuddin, menyepakati Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari sembilan orang dari usulan PCNU dan PWNU se-Indonesia. Sebagai peserta muktamar, mereka diminta menyerahkan maksimal sembilan nama usulan saat registrasi. Nama-nama itu lalu direkapitulasi dan dibuat peringkat. Sembilan nama pemilik suara terbanyak berhak masuk sebagai Ahlul Halli wal Aqdi.
"Selanjutnya, Ahlul Halli wal Aqdi akan musyawarah dengan setiap anggotanya memiliki hak memilih dan dipilih. Ahlul Halli wal Aqdi juga dapat memilih nama di luar Ahlul Halli wal Aqdi itu sendiri untuk menjadi rais am apabila dari sembilan orang yang ada tidak satu pun yang bersedia dipilih," tutur Ishomuddin.
Untuk kriteria rais am sebagai pimpinan tertinggi di NU, lanjut dia, Munas Alim Ulama sepakat beberapa di antaranya adalah berakidah Ahlussunnah wal Jamaah al Nahdliyah, wara’ (memiliki prinsip kehati-hatian), zuhud (sederhana dan merasa cukup), bersikap adil, alim, atau berilmu, memiliki wawasan keagamaan yang luas, memiliki integritas moral, tawadu (rendah diri), berpengaruh, dan memiliki kemampuan untuk memimpin.
"Ada tambahan kriteria dari KH Ma’ruf Amin, yaitu seorang rais am juga harus munadzim (seorang organisatoris) dan muharriq (penggerak organisasi). Alhamdulillah peserta munas menyepakati juga syarat-syarat itu," ujarnya.
Dalam forum tersebut, Ishomuddin menambahkan, ada yang mengusulkan agar musyawarah mufakat juga diterapkan untuk pemilihan Ketua Tanfidziyah NU. Tetapi, peserta sepakat untuk membawa dan membahasnya di muktamar nanti.
Sebagai informasi, muktamar ke-33 NU akan dilangsungkan di Jombang, Jawa Timur, pada 1 sampai 5 Agustus 2015 mendatang. Sebanyak empat pesantren menjadi lokasi bersama muktamar, yaitu Darul Ulum, Bahrul Ulum, Denanyar, dan Tebuireng.
Sementara itu, Mustasyar PBNU KH Ma’ruf Amin mengatakan, posisi rais am di tubuh NU adalah maqam (derajat yang tinggi) sehingga yang berhak mendudukinya adalah shahibul maqam (yang layak pada posisi itu).
"Menurut saya, standar rais am itu ya (seperti) KH Wahab Chasbullah, atau paling tidak yang mendekati beliau," tuturnya pada forum Musyawarah Nasional Alim Ulama.
Ma’ruf Amin memaparkan, setidaknya rais am memiliki empat kriteria, antara lain faqih atau berwawasan agama secara mendalam, munadhdhim (organisatoris), muharrik (penggerak), dan mutawarri’ (berlaku sangat hati-hati dan jauh dari kepentingan duniawi).
"Rais am itu harus menjadi penggerak, bukan bergerak sendiri. Kalau bergerak sendiri, namanya gasing. Yang keempat harus mutawarri’, wira’i," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.