Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/05/2015, 08:06 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI seakan tak pernah ayem. Belum lama kondusif, hubungan keduanya kembali bergejolak. Penyidik Bareskrim Polri menangkap penyidik KPK, Novel Baswedan, di kediamannya, kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (1/5/2015), untuk diperiksa dalam kasus dugaan penganiayaan yang terjadi pada 2004.

Novel sempat dibawa ke Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Pengacara Novel menyebutkan bahwa kliennya ditahan. Setelah itu, pada Jumat siang, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti agar Novel dilepaskan. Presiden juga menegaskan bahwa ia telah mengingatkan Kapolri agar tak melakukan langkah-langkah yang menimbulkan kontroversi. (Baca: Jokowi Instruksikan Kapolri Lepaskan Novel)

Namun, instruksi Presiden tak langsung dijalankan. Pernyataan Kapolri bahwa Novel tak akan ditahan pun tak diindahkan. Penyidik Bareskrim justru membawa Novel ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi. Ia baru dilepaskan pada Sabtu (2/5/2015). (Baca: Jokowi: Saya Sudah Perintahkan Kapolri Tak Membuat Hal-hal yang Kontroversial)

Penangguhan penahanan terhadap Novel mengingatkan dua peristiwa sebelumnya, yaitu rencana penahanan terhadap pimpinan nonaktif KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Keduanya sempat akan ditahan setelah menjalani pemeriksaan, tetapi kemudian ditangguhkan setelah Kapolri menginstruksikan penangguhan. (Baca: Kapolri: Novel Baswedan Tak Ditahan)

Pengamat politik Populi Center, Nico Harjanto, menduga, ada agenda dari faksi di tubuh Polri yang ingin melampiaskan dendamnya kepada pihak-pihak di KPK.

"Tindakan penyidik itu menunjukkan adanya insubordinasi dengan kepemimpinan Kapolri yang ingin tidak adanya kegaduhan baru. Tampaknya ada agenda faksi di Polri yang sedang melakukan aksi balas dendam," ujar Nico, saat dihubungi Kompas.com.

Jika dugaan itu benar, Nico menyarankan pimpinan Polri segera menertibkan faksi itu atau bahkan mengenakan sanksi disiplin. Ia khawatir, ke depannya akan ada tindakan-tindakan "liar" yang dilakukan Polri. (Baca: Politisi PPP: Jangan Buru-buru Sebut Kapolri Tak Turuti Perintah Presiden)

Sementara itu, kuasa hukum Novel, Saor Siagian, menilai, yang terjadi belakangan ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan Badrodin Haiti.

"Ini cerminan bahwa ada matahari kembar di tubuh Polri. Kapolri tidak punya kuasa atau komando demi mencegah situasi tetap cooling down. Jadi, ada pihak lain yang membuat suasana balik lagi menjadi kisruh seperti ini," ujar Saor kepada Kompas.com, Senin (4/5/2015).

Ia juga mempertanyakan langkah-langkah petinggi Polri yang tak sesuai dengan instruksi Kapolri.

"Ini jelas ada pembangkangan anak buah atas perintah Kapolri. Jika demikian, siapa yang mengendalikan Polri sekarang? Ini pertanyaan yang wajib dijawab," ujar Saor.

Presiden harus turun tangan

Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, menambahkan, jika tindakan Polri dinilai telah melampaui proporsinya, Presiden Jokowi harus menghentikan hal tersebut karena lembaga tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jika tindakan Polri meresahkan masyarakat, Presiden harus memastikan bahwa Polri tetap berada di bawah kendali pemerintah dan tidak "liar".

"Publik harus percaya itu terlebih dahulu. Sebab, kalau tidak, maka hal ini dikhawatirkan akan memunculkan distrust di tengah publik, yang bisa mengganggu stabilitas dan keamanan nasional," ujar Siti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com