Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA Didesak Cabut Surat Edaran soal Pembatasan Peninjauan Kembali

Kompas.com - 05/01/2015, 06:55 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Mahkamah Agung mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7/2014 tentang pembatasan Peninjauan Kembali. Surat edaran itu dinilai bertentangan dengan konstitusi. (Baca: Surat Edaran MA soal Pembatasan PK Dinilai Inkonstitusional)

"Pemberlakuan SEMA Nomor 7/2014 bertentangan dengan konstitusi. Apabila MA tidak mencabutnya, maka ICJR akan mengambil langkah-langkah, sesuai prosedur hukum yang berlaku, untuk membatalkannya," kata Direktur IJCR Supriyadi Widodo Eddyono, seperti dikutip Antara, Minggu (4/1/2015) malam.

Supriyadi mengatakan, ICJR menduga SEMA Nomor 7/2014 itu lahir karena intervensi pemerintah melalui Menko Polhukam dan Jaksa Agung terhadap MA terkait dengan pembatasan Peninjauan Kembali dalam KUHAP. Menurut dia, upaya intervensi itu terlihat saat open house di kediaman Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Kuningan, Jakarta, pada Sabtu (3/1/2015) lalu. Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno, kata Supriyadi, menyatakan bahwa SEMA itu dibuat tanpa melibatkan Kemenko Polhukam, dan Kejaksaan Agung. (Baca: Menkopolhukam: Pembatasan Waktu PK demi Kepastian Hukum)

"Pada intinya Menko Polhukam mengisyaratkan akan melakukan evaluasi terhadap SEMA 7/2014," ujarnya.

Sementara itu, Kejaksaan Agung dinilai berupaya mengalihkan tanggung jawab terhadap kewajiban eksekusi terpidana mati karena dibukanya kemungkinan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tanpa batasan kepada MA dengan cara meminta Peraturan MA (Perma) mengenai pembatasan PK tersebut. (Baca: MA Hanya Perbolehkan Dua Kali PK, Apa Tanggapan Kejaksaan Agung?)

Ia menambahkan, upaya intervensi yang dilakukan para menteri Joko Widodo ini merupakan bentuk intervensi terhadap Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman yang diharamkan dalam UUD 1945.

"Dengan melakukan intervensi ini, pemerintah berupaya mengalihkan tanggung jawab eksekusi terpidana mati kepada MA. Patut disayangkan sikap MA yang membuka ruang untuk diintervensi oleh Pemerintah," katanya.

MA, lanjut Supriyadi, seharusnya menjaga hak-hak asasi manusia sebagai bagian dari fungsi pengadilan. Fungsi ini hanya dapat dijalankan apabila pemerintah menahan diri untuk tidak melakukan intervensi ke Mahkamah Agung.

Batasi PK perkara pidana

Sebelumnya, pada 31 Desember 2014, Ketua MA Hatta Ali mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 7/2014. Surat edaran ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum tentang pengajuan peninjauan kembali (PK). Hal itu menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar beserta istri dan anaknya.

Antasari beserta istri dan anaknya minta MK membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu mengatur PK pidana hanya boleh diajukan sekali.

Antasari, terpidana 18 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, berniat mengajukan PK kedua, tetapi terganjal oleh ketentuan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP.

Sementara itu, Sema No 7/2014 mendasarkan diri pada Pasal 24 Ayat (2) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 Ayat (1) UU No 3/2009 tentang MA yang mengatur PK hanya sekali. Kedua ketentuan itu tak dibatalkan MK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com