Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Ada Nyawa Hilang Sia-sia

Kompas.com - 19/12/2014, 14:00 WIB


Oleh: Riana Ibrahim

KOMPAS.com - Pro dan kontra selalu mengiringi penerapan hukuman mati. Efektivitas hukuman itu, seperti untuk pelaku kejahatan narkoba dalam mengurangi penyalahgunaan narkoba di Indonesia, masih menjadi pertanyaan. Sejumlah persoalan yang terjadi sebelum dan sesudah pelaksanaan hukuman itu juga belum semuanya dituntaskan.

Pada 9 Desember lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan menolak permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba. Langkah itu diambil untuk memberikan pesan kepada dunia bahwa Indonesia bukan sarang peredaran narkoba.

Berbagai kalangan menanggapi pernyataan dari orang nomor satu di Indonesia ini. Ada yang mendukung. Namun, tak sedikit pula yang mengecam karena dianggap tak memedulikan hak asasi manusia.

Data dari Kejaksaan Agung, ada 138 terpidana mati yang menunggu eksekusi. Dari jumlah itu, 72 terpidana karena perkara narkoba. Namun, jumlah itu berkurang lantaran 13 terpidana hukumannya berubah menjadi seumur hidup, baik melalui peninjauan kembali (PK), kasasi, maupun grasi. Selain itu, juga ada lima terpidana yang telah meninggal.

Dari 27 terpidana mati yang dieksekusi dalam kurun waktu 2000-2013, tujuh di antaranya terpidana perkara narkoba.

Dibandingkan dengan dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia, terpidana mati yang dieksekusi di Indonesia jauh lebih sedikit. Berdasarkan laporan dari International Harm Reduction Association, dalam kurun waktu 2000-2014, Singapura mengeksekusi 59 terpidana mati perkara narkoba.

Di Malaysia, merujuk data Malaysia Against Death Penalty and Torture, selama 1960-2011, dari 441 terpidana mati yang dieksekusi, 228 orang di antaranya karena perkara narkoba.

Meski mempunyai angka yang lebih rendah terhadap eksekusi mati terpidana narkoba, persebaran kasus narkoba di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.

Data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus narkoba pada tahun 2013 di Indonesia untuk golongan narkotika tercatat 21.269 kasus, psikotropika 1.612 kasus, dan bahan adiktif lainnya 12.705 kasus.

Di Singapura, jumlah kasus narkoba pada 2013, merujuk data Central Narcotics Bureau, mencapai 3.581 kasus. Angka itu naik sekitar 2 persen dibandingkan pada tahun 2012 yang berjumlah 3.507 kasus.

Kasus narkoba di Malaysia jauh lebih tinggi daripada di Singapura, tetapi lebih rendah dibandingkan Indonesia. Menurut data National Antidrug Agency, pada tahun 2012, kasus narkoba yang ditangani Pemerintah Malaysia berkisar di angka 9.000 kasus.

Lalu, apakah langkah Presiden Jokowi menolak grasi untuk terpidana narkoba dapat memberikan efek jera dan menekan laju kasus narkoba di Indonesia?

Ketua Gerakan Nasional Anti Narkoba Henry Yosodiningratmeyakini, penolakan grasi ini dapat memberikan efek tersendiri bagi orang-orang yang menjalankan bisnis narkoba yang merusak generasi bangsa. Oleh karena itu, dia mengapresiasi langkah Presiden Jokowi terkait penolakan grasi tersebut.

Meski demikian, Direktur Program Imparsial Al Araf mengatakan, belum ada penelitian yang menunjukkan adanya korelasi antara pemberian hukuman mati dan menurunnya peredaran narkoba di Indonesia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com