Dilema
Di tengah polemik terkait hukuman mati bagi terpidana narkoba, pelaksanaan hukuman mati tak hanya berdampak bagi terpidana sendiri, tetapi juga banyak pihak. Mereka, antara lain, keluarga terpidana hingga penjaga lembaga pemasyarakatan (LP) dan jaksa eksekutor.
Selama ini, pembahasan selalu berputar pada terpidana mati yang mengalami hukuman ganda, yaitu penahanan yang dijalani saat menanti pelaksanaan eksekusi. Dalam penahanan ini, para terpidana mati tak mendapatkan pendampingan khusus sehingga tak menutup kemungkinan mereka mengalami depresi yang akibatnya dapat sampai kematian di dalam penjara.
Waktu penantian eksekusi di Indonesia juga lebih lama dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Di Singapura, jeda waktu dari penjatuhan vonis hingga eksekusi 2-5 tahun, dan ketentuan ini tak memandang usia terpidana. Ketentuan di Malaysia tak jauh beda.
Sementara di Indonesia, rentang waktu antara penjatuhan hukuman mati dan eksekusi dapat mencapai 10 tahun dan bahkan lebih. Sebab, negara memberikan kesempatan kepada para terpidana mati mengajukan PK ataupun grasi sebagai salah satu usaha untuk meringankan atau mengubah hukuman.
Kondisi keluarga terpidana mati juga harus dipertimbangkan. Seorang istri dari terpidana mati kasus narkoba, Ayu (40), bukan nama sebenarnya, mengatakan, harus bergelut untuk membangkitkan semangat anak semata wayangnya yang sempat turun saat ayahnya divonis hukuman mati. Beban keluarga juga berpindah ke punggung Ayu.
Penjaga LP harus menghadapi sejumlah persoalan ketika berita eksekusi mulai menyebar. Direktur Informasi Direktur Informasi dan Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ibnu Chuldun mengungkapkan, saat kabar eksekusi menyebar dan menyasar ke LP tertentu, kerap muncul masalah.
"Mereka sudah mulai saling menebak. Lalu kadang muncul masalah karena pemberitahuan resmi belum diterima sehingga tidak bisa memberikan perlakuan khusus ke narapidana yang dimaksud. Sementara para terpidana mulai bertanya-tanya," ujar Ibnu.
Terakhir adalah jaksa eksekutor yang memegang kendali saat eksekusi dilakukan. Selama ini, para jaksa eksekutor jarang didampingi psikolog, baik sebelum maupun sesudah eksekusi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengungkapkan, ada jaksa yang membutuhkan kehadiran psikolog, tetapi juga ada yang tidak. "Jadi, disesuaikan dengan permohonan dari jaksa," tuturnya.
Komisioner Komisi Kejaksaan Kaspudin Noor mengatakan, hal-hal kecil yang menjadi dilema ketika penjatuhan hukuman mati ini harus diperhatikan. Ia pun menyarankan ada revisi undang-undang terkait hal ini karena efek dari hukuman mati ini tak hanya tunggal.
Melihat sisi positif dan negatif dari hukuman mati, bentuk hukuman ini tentu perlu dikaji dan diperbaiki agar tak ada nyawa yang hilang sia-sia, bahkan meninggalkan luka. Apalagi, bukankah UUD 1945 menyatakan semua orang di negara ini berhak untuk hidup?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.