Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi mengatakan, wajar jika partai politik melakukan manuver dan mendompleng kemenangan pihak yang sebelumnya menjadi lawan.
"Fenomena yang wajar, kemenangan bagai punya 1.000 ayah, yang kalah seperti yatim. Siapapun, yang kalah pasti akan sendirian, pasti akan ditinggalkan kawan koalisinya," kata Burhanudin, di Jakarta, Kamis (17/7/2014) malam.
Menurut Burhanudin, Jokowi juga memerlukan partai baru untuk mendukungnya untuk menyolidkan dukungan di parlemen jika memenangkan Pilpres 2014. Saat ini, jumlah kursi partai pendukung Jokowi-Jusuf Kalla di parlemen masih di bawah 40 persen. Menurut Burhanuddin, parlemen perlu dikondisikan agar Jokowi-JK mudah mengeksekusi program-programnya.
Jika ingin mendominasi parlemen, kata Burhanudin, maka Jokowi-JK memerlukan dukungan dari Golkar karena memiliki lebih dari 90 kursi di DP. Akan tetapi, Golkar selama ini termasuk partai yang sulit dipegang komitmennya.
Jika ingin mencari solusi yang lebih menjanjikan, menurut Burhanuddin, Jokowi lebih baik menggaet dukungan dari Demokrat dan PPP. Perolehan suara kedua partai ini akan membuat dukungan di parlemen menjadi dominan.
"Ini power game, kalau dapat dukungan dari Demokrat dan PPP, Jokowi tidak lagi perlu Golkar. Lebih mudah membangun suloditas dengan Demokrat, dibanding Golkar," ujar Burhanudin.
Ia menilai, dukungan Demokrat dan PPP lebih menguntungkan Jokowi dibandingkan dukungan dari Golkar. Selain sulit dipegang penuh, dukungan Golkar juga akan menaikkan daya tawar cawapres Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar. Namun, dukungan Demokrat diprediksi terganjal karena ketegangan hubungan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Burhanudin menyarankan Megawati mengalah dan membuka pintu untuk berkomunikasi dengan SBY. Orang-orang di sekitar kedua tokoh itu, kata dia, juga harus peka dan sesering mungkin menciptakan momentum politik untuk mempertemukan Megawati dengan SBY.
Pada Pileg 2014 lalu, SBY mencoba membuka peluang berkomunikasi, hanya saja Megawati bergeming, akhirnya koalisi Demokrat-PDI Perjuangan gagal terjalin.
"Di ujung tikungan SBY mendukung Prabowo karena cintanya bertepuk sebelah tangan, harus ada kondisi yang memungkinkan keduanya bisa kerja sama," kata Burhanuddin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.