Dalam peta koalisi saat ini, lanjut Fahri, pemisahan ideologi dalam dikotomi itu pun tak menjadi landasan bagi pertai politik dalam menyusun koalisi. Adapun dikotomi liberal dan konservatif lebih berlandaskan perdebatan ide. "Adapun di Indonesia tidak pernah ada perdebatan ide. Capres yang muncul saat ini pun tidak membawa ide yang jelas."
Wasekjen PDI-P Ahmad Basaraf sependapat bahwa tak ada dikotomi partai nasionalis dan partai Islam. "Ada partai yang disebut nasionalis bercorak islam seperti PAN dan PKB atau sebaliknya partai Islam yang nasionalis," kata Basarah.
Dalam pandangan Basarah, partai-partai nasionalis pun sekarang sudah bergerak mendekati partai politik berbasis massa Islam. Dia mencontohkan PDI-P pernah berkoalisi dengan Hamzah Haz dari PPP dan ketika Megawati menjadi presiden pun pernah mengangkat menteri-menteri berbasis Nahdlatul Ulama.
Namun, Wakil Majelis Tinggi Partai Demokrat Marzuki Alie punya pandangan berbeda. Ia menilai basis massa muslim di partai Islam merupakan realitas yang selalu ada setiap kali pemilu maupun pemilu kepala daerah.
"Bukan hanya mitos. Realitanya setiap kali pemilihan partai berbasis NU atau Muhammadyah itu dikejar, dirangkul, kemudian ditinggalkan," ujar Marzuki. "(Pelabelan itu) hanya untuk kepentingan sesaat. Ini faktanya."
Label partai nasionalis dan partai Islam menjadi wacana ketika Koalisi Umat Islam meminta partai politik berbasis massa Islam untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Koalisi tersebut menuntut partai politik berbasis massa Islam membatalkan kontrak yang disepakati dengan partai nasionalis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.