Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yusril: PK Berkali-kali Tak Ganggu Eksekusi Terpidana Mati

Kompas.com - 13/03/2014, 07:46 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur "peninjauan kembali hanya sekali" tidak akan menghalangi proses eksekusi terhadap terpidana mati.

Jaksa dapat mengeksekusi terpidana jika seluruh upaya hukum yang menjadi hak terpidana sudah ditempuh.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan oleh terpidana, ahli waris maupun kuasa hukum terpidana.

Permohonan PK diberikan untuk memberikan azas keadilan terhadap terpidana. Sehingga, dalam pertimbangannya, MK menyatakan, pengajuan PK tidak dapat dibatasi waktu.

Namun, kata Yusril, pengajuan permohonan PK hanya dapat dilakukan apabila terpidana sudah menjalani pidana atau eksekusi dari pihak kejaksaan. Ia mencontohkan, dalam kasus terorisme, jika di dalam kasasi Mahkamah Agung menyebutkan bahwa terpidana dinyatakan bersalah dan harus dihukum mati, maka jaksa dapat mengeksekusi terpidana tersebut.

“Misalnya dia dipidana hukuman mati sampai dengan putusan kasasi di MA, lalu dia mengajukan PK terus ditunda. Begitu ditolak PK-nya kan tidak langsung bisa hari itu bisa PK,” kata Yusril di Jakarta, Rabu (12/3/2014) kemarin.

Hal itu, dikatakan Yusril, juga berlaku bagi terpidana kasus lain yang telah menjalani masa hukumannya. Begitu eksekusi telah dilakukan, ahli waris maupun kuasa hukum terpidana dapat mengajukan PK.

PK ini dapat diajukan apabila terdapat bukti baru (novum). Dengan harapan, melalui PK ini maka nama baik seseorang dapat dipulihkan. “Jadi andaikata keluarganya sudah meninggal pun, tetap bisa membersihkan nama orang yang sudah mati,” kata Yusril.

Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali hanya sekali. Dengan putusan MK itu, pengajuan PK bisa berkali-kali.

Putusan tersebut atas permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (istri dan anak Antasari). Antasari mendalilkan pembatasan pengajuan PK menghalangi dirinya untuk memperjuangkan hak keadilan di depan hukum yang dijamin Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.

Antasari bersyukur atas putusan itu. Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan, proses peradilan harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran tanpa keraguan.

Dari prinsip itu, lahirlah prinsip ”lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”.

Kebenaran materiil, lanjut Anwar, mengandung semangat keadilan. Keadilan merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formal yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan sekali seperti diatur di dalam Pasal 268 Ayat (3) KUHAP.

Hal itu karena mungkin saja setelah diajukan PK dan diputus, ada bukti baru (novum) yang substansial, yang saat PK diajukan belum ditemukan. MK juga mengutip asas litis finiri oportet bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.

Hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Namun, menurut MK, asas tersebut tidak harus diterapkan secara kaku. Dengan hanya boleh mengajukan PK sekali, padahal ditemukan adanya bukti baru, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi kekuasaan kehakiman Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com