JAKARTA, KOMPAS.com – Kapolri Jenderal Pol Sutarman mengatakan, Polri akan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali (PK) hanya sekali.
“Apapun yang diputuskan oleh hakim MK ataupun pengadilan, Polri akan menghormati,” kata Sutarman di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (7/3/2014).
Sutarman mengatakan, dalam proses penegakkan hukum, seorang hakim harus memperhatikan tiga tujuan utama hukum ditegakkan, yaitu memberikan rasa keadilan, memberikan kepastian hukum dan memberikan manfaat kepada masyarakat.
Sutarman menilai, salah satu pertimbangan MK mengabulkan permohonan yang diajukan terpidana Antasarin Azhar itu, yakni untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Namun, Sutarman mengingatkan, dengan adanya putusan MK tersebut penyelesaian perkara dapat berjalan lama.
“Demi kepastian hukum, kalau prosesnya panjang akan jadi pertimbangan-pertimbangan lain,” ujarnya.
Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali hanya sekali. Dengan putusan MK itu, pengajuan PK bisa berkali-kali.
Putusan tersebut atas permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (istri dan anak Antasari). Antasari mendalilkan pembatasan pengajuan PK menghalangi dirinya untuk memperjuangkan hak keadilan di depan hukum yang dijamin Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Antasari bersyukur atas putusan itu.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan, proses peradilan harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran tanpa keraguan. Dari prinsip itu, lahirlah prinsip ”lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”.
Kebenaran materiil, lanjut Anwar, mengandung semangat keadilan. Keadilan merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formal yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan sekali seperti diatur di dalam Pasal 268 Ayat (3) KUHAP. Hal itu karena mungkin saja setelah diajukan PK dan diputus, ada bukti baru (novum) yang substansial, yang saat PK diajukan belum ditemukan.
MK juga mengutip asas litis finiri oportet bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Namun, menurut MK, asas tersebut tidak harus diterapkan secara kaku. Dengan hanya boleh mengajukan PK sekali, padahal ditemukan adanya keadaan baru (novum), ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi kekuasaan kehakiman Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.