”Pengusaha yang terlibat (dalam kasus Akil Mochtar) kembali menjadi bukti yang sangat mengecewakan dan mencoreng hukum di Indonesia,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter Hariyadi B Sukamdani, Minggu (6/10), di Jakarta.
KPK menangkap dua pengusaha dalam kasus Akil, yaitu Cornelis Nalau dan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Cornelis diduga terkait kasus Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sementara Wawan, adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, menjadi tim sukses Amir Hamzah-Kasmin, salah satu pasangan di Pilkada Lebak, Banten.
Menurut Hariyadi, pengusaha yang tergabung di Kadin telah menandatangani pakta integritas pengusaha antisuap pada tahun 2009. Lewat pakta itu, pengusaha didorong tidak menghalalkan segala cara, termasuk suap, dalam melanggengkan bisnisnya. Bahkan, pakta integritas ini menjadi salah satu program yang ditindaklanjuti Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Pengusaha yang sudah terlibat terlalu jauh dalam pilkada, lanjut Hariyadi, patut dihukum pidana. Jika calon kepala daerah yang didukung menang, pengusaha yang merasa berjasa akan semakin jauh menabrak aturan untuk melanggengkan bisnisnya. Jika calonnya kalah, pihak lain akan membeberkan keterlibatan negatif pengusaha itu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, ”Hukum di Indonesia kini tidak bisa lagi dipercaya. Selama ini, MK sering dianggap sebagai lembaga setengah malaikat. Ternyata, aksi suap telah meruntuhkan pilar kekuatan hukum ini. Hukum seakan bisa dibeli.”
Dikendalikan uang
Sofjan menegaskan, ”Hukuman mati harus menjadi satu-satunya putusan bagi koruptor. Efek jera membangkrutkan koruptor ternyata tidaklah membuat takut koruptor. Paling hanya 20-30 persen harta benda koruptor yang bisa disita negara. Sebagian besar harta koruptor sudah berganti kepemilikannya.”
Ketua Apindo Anton J Supit mengatakan, esensi reformasi adalah perubahan menuju perbaikan. Tidak cukup jika hanya berubah dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi atau dari zaman kurang demokratis. Apalagi, demokrasi saat ini terbukti lebih menjadi demokrasi yang mudah memakai uang.
”Sebagian dari politisi atau pemimpin daerah, tidak jelas asal-usulnya karena mereka memakai uang. Akibatnya, mereka mudah lupa dengan ungkapan, di balik jabatan atau tanggung jawab, selalu ada kehormatan yang harus dijaga,” ujar Anton.
Presiden Direktur Mustika Ratu Tbk Putri K Wardani mengatakan, Kadin sebagai institusi memang sudah menandatangani pakta antisuap. Namun kenyataannya, memang masih ada pelaku usaha yang mempraktikkan suap.
Suap terjadi karena perizinan, kemudahan usaha, dan kebijakan usaha masih kerap dipermainkan oknum birokrat. Akibatnya, pelaku usaha belum dapat lepas dari suap demi waktu dalam melangsungkan usaha. Bagi pengusaha, keterlambatan, ketidakpastian, atau ketidaksesuaian kebijakan harus semaksimal mungkin dihindari. Namun, sebagian pengusaha menerjemahkan terlalu jauh dan instan, seolah semua bisa diselesaikan dengan uang,” ujar Putri. (OSA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.