Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meramal Masa Depan KPK

Kompas.com - 31/12/2012, 08:28 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah dipertaruhkan. Tahun 2012 menjadi momentum bagi Pimpinan KPK jilid III untuk membuktikan kinerja setahun pertama mereka kepada masyarakat.
Sebagai lembaga sementara alias adhoc, KPK tentunya bergantung pada kepercayaan masyarakat. Bisa saja, suatu hari nanti lembaga itu dibubarkan jika tidak ada political will dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membersihkan negara dari perilaku busuk para koruptor. Tentunya, jika KPK sendiri tidak mampu memenuhi harapan masyarakat akan negara yang bersih dari korupsi.

Banyak kajian yang menyebutkan kalau keberhasilan atau kegagalan suatu lembaga sejenis KPK sebaiknya ditinjau dari dua sudut pandang. Pertama, kondisi eksternal lembaga, seperti dukungan pemerintah berupa landasan hukum dan finansial, harapan masyarakat, dan kerja sama luar negeri. Kedua, kondisi internal lembaga seperti dukungan staf, profesionalitas, berintegritas, struktur organisasi dan sistem manajemen yang baik.

Berdasarkan pengalaman di beberapa negara di Afrika, kegagalan komisi anti korupsi diawali dengan tidak terpenuhinya harapan berbagai pihak terhadap komisi tersebut. Tidak dipenuhinya harapan tersebut bukan semata-mata karena rendahnya kinerja, tetapi juga besarnya harapan yang dibebankan ke pundak komisi, sementara komisi sendiri masih muda dan tengah membangun diri.

Dikepung persoalan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai, KPK tengah dikepung persoalan baik dari eksternal maupun internalnya sendiri. Sistem yang terbentuk di luar KPK belum sepenuhnya mendukung lembaga yang baru berumur sembilan tahun itu untuk tumbuh berkembang.

Dari sisi dukungan perangkat yudikatif, misalnya, pengadilan tindak pidana korupsi yang ada di daerah-daerah saat ini belum sepenuhnya bersih dari intervensi. Menurut Donal, menjadi persoalan ekstra yang harus dihadapi KPK ketika mereka memproses kasus di daerah sementara para hakimnya dengan mudah diintervensi kelompok-kelompok yang berperkara.

“Itu menyulitkan kerja KPK tentunya. Masalah pengadilan Tipikor di daerah ini masih belum terselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Donal.

Lemahnya lembaga yudikatif dalam hal pemberantasan korupsi ini diperparah dengan sikap Dewan Perwakilan Rakyat yang setengah hati mendukung KPK. Dari sisi legislasi, menurut Donal, KPK masih terancam akan dipangkas kewenangannya melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Meski sudah menghentikan pembahasan revisi UU tersebut, DPR belum mencabut agenda revisi UU KPK dari program legislasi nasional atau prolegnas.

Dikhawatirkan, langkah DPR ini justru menyandera KPK. Bisa saja sewaktu-waktu pembahasan draf revisi UU yang disinyalir sebagai upaya pemangkasan wewenang KPK itu dilanjutkan kembali.

“Ini akan menganggu kinerja KPK, melalui revisi itu, KPK kemungkinan akan dibonsai kewenangannya,”ujar Donal.

Rencana DPR untuk merevisi UU KPK ini memang menuai reaksi keras masyarakrat. Draf revisi yang diajukan Komisi III DPR dinilai berpotensi mengkerdilkan kewenangan KPK. Misalnya saja, penghilangan kewenangan penuntutan, adanya mekanisme penyadapan yang harus meminta izin ketua pengadilan negeri terlebih dulu, serta dibentuknya Dewan Pengawas KPK.

Selain itu, persoalan yang dihadapi KPK juga datang dari eksekutif, yaitu pemerintah. Menurut Donal, meskipun pemerintah tidak mengintervensi langsung proses hukum di KPK, ada kecenderungan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini membiarkan KPK digerogoti pihak-pihak yang bermasalah. Ada pernyataan Presiden yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi.

“Pernyataan soal kasus Andi Mallarangeng misalnya, itu sinyal kepada KPK. Presiden saat itu mengatakan bahwa orang yang melakukan korupsi sebenarnya karena tidak tahu, maka harus diselamatkan. Ini mengisyaratkan, sangat mungkin pemerintah membiarkan KPK digerogoti atau mungkin pemerintah sendiri yang lakukan itu,”  ujarnya.

Krisis penyidik

Persoalan-persoalan eksternal tersebut semakin mengimpit KPK di tengah persoalan internal yang dihadapi lembaga antikorupsi itu. Seperti kita ketahui, KPK tengah mengalami krisis penyidik. Sejak memulai penyidikan kasus dugaan korupsi simulator surat izin mengemui (SIM) yang melibatkan dua jenderal Kepolisian, penyidik KPK berkurang satu persatu. Mulai dari surat penugasannya yang tidak diperpanjang hingga pengunduran diri penyidik dengan alasan ingin mengembangkan karir di Kepolisian.

Kondisi krisis sumber daya manusia (SDM) ini diharapkan dapat teratasi melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang SDM KPK. PP tersebut mengatur kalau masa tugas pegawai negeri, termasuk penyidik yang bertugas di KPK diperpanjang menjadi 10 tahun, dari yang semula hanya delapan tahun. Penarikan penyidik pun, harus berdasarkan persetujuan pimpinan KPK.

Meskipun demikian, ada saja celah yang berpotensi melemahkan KPK dalam PP yang telah direvisi dan berganti nama jadi PP Nomor 103 Tahun 2002 itu. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas beberapa waktu lalu mengungkapkan, ada ayat siluman yang diselipkan dalam peraturan tersebut. Ayat itu, dianggap mempersulit KPK dalam proses alih status penyidik menjadi pegawai tetap. Menurut Busyro, dalam  Pasal 5 Ayat 9 PP Nomor 103 tahun 2012, disebutkan, setiap pegawai termasuk penyidik yang ingin alih status harus mendapatkan izin dari instansi awalnya lebih dahulu.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com