Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Berencana Banding Putusan Syarifuddin

Kompas.com - 28/02/2012, 20:58 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana ajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menghukum hakim nonaktif Syarifuddin empat tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan. Syarifuddin dianggap terbukti menerima suap Rp 250 juta dari kurator Puguh Wirawan (divonis 3,5 tahun) terkait kepengurusan harta pailit PT SkyCamping Indonesia.

"Kita rencana untuk banding," kata Juru Bicara KPK Johan Budi, di Jakarta, Selasa (28/2/2012).

Namun sebelumnya, KPK akan mempelajari dasar putusan hakim yang jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa tersebut. Adapun tim jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya meminta Syarifuddin dihukum 20 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta yang dapat diganti enam bulan kurungan. Dalam mempertimbangkan putusan ini, majelis hakim tidak sepakat dengan jaksa soal pasal penjerat Syarifuddin.

Jaksa menilai Syarifuddin terbukti melakukan perbuatan korupsi sesuai dakwaan kesatu yang memuat Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. Pasal tersebut mengatur soal penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal patut diketahui hal itu diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Sementara menurut hakim, Syarifuddin terbukti melanggar dakwaan keempat yang memuat Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 5 Ayat 1 huruf b dengan ancaman pidana maksimal lima tahun penjara. Majelis hakim yang memutuskan perkara ini terdiri dari hakim Gusrizal (ketua), Mien Trisnawati, Sofialdi, Anwar, dan hakim Ugo.

Secara terpisah, jaksa yang menangani perkara ini, Zet Tadung Alo, mengatakan, pihaknya akan mengkaji secara hukum soal penerapan Pasal 5 Ayat 2 jo Ayat 1 huruf b UU Tipikor ini. "Kita akan kaji secara hukum apakah tepat, karena menurut kita, Pasal 12," kata Zet.

Termasuk, lanjut Zet, soal pembuktian terbalik yang menurut hakim tidak perlu dilakukan Syarifuddin. Dalam amar putusannya, hakim memerintahkan KPK mengembalikan ke Syarifuddin pecahan mata uang asing senilai lebih dari Rp 2 miliar yang disita saat penggerebekan di rumah hakim pengadilan niaga itu.

Selain menemukan uang Rp 55 juta, penyidik KPK menemukan pecahan mata uang asing yang terdiri dari 116.000 dollar AS, 245.000 dollar Singapura, 20.000 yen Jepang, 12.600 riel Kamboja, dan 5.900 bath Thailand.

Menurut majelis hakim, pembuktian terbalik atas asal usul pecahan mata uang asing itu tidak dapat dilakukan karena uang-uang tersebut tidak ada dalam dakwaan. Majelis hakim juga menilai, pembuktian terbalik dalam perkara korupsi, bersifat terbatas, hanya dapat dilakukan terkait dakwaan yang memuat pasal tertentu.

Berdasarkan Pasal 38 Ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Tipikor, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com