Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Alasan PK Pollycarpus

Kompas.com - 07/06/2011, 13:01 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pihak terpidana 20 tahun penjara, Pollycarpus Budihari Priyanto, terkait perkara pembunuhan aktivis hak asasi manusia, M Munir, mengaku memiliki landasan kuat mengajukan peninjauan kembali.

Kuasa hukum Pollycarpus, M Assegaf, mengatakan, alasan-alasan kuat tersebut karena terdapat beberapa kejanggalan dalam putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung (PK MA) pada 2008 lalu yang menghukum kliennya selama 20 tahun penjara.

"Perjalanan kasusnya Pollycarpus itu banyak hal-hal yang kontroversial. Salah satunya ketika di pengadilan tinggi terjadi perbedaan pendapat pada hakim-hakimnya. Ketua majelisnya sendiri mengatakan, Polly tidak terbukti bersalah. Kemudian kasasi karena terjadi perbedaan pendapat. Dua lawan satu. Yang satu mengatakan bersalah, dan yang dua mengatakan Polly tidak bersalah. Maka, Polly dibebaskan ketika itu. Namun, setelah bebas selama setahun, MA mengeluarkan putusan untuk memenjarakan Polly lagi selama 20 tahun," ujar Assegaf di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (7/6/2011).

Assegaf mengungkapkan, putusan tersebut menjadi kontroversial sebab MA mengabulkan PK dari Kejaksaan Agung. Padahal, menurut Assegaf, mekanisme PK Jaksa tidak dibenarkan dalam ketentuan hukum acara pidana mana pun.

"Kita protes keras karena hak PK berdasarkan undang-undang terdapat pada ahli waris atau terpidana. Akan tetapi, mereka (MA) tetap nekat dan tetap mengeluarkan putusan itu," tuturnya.

Lebih lanjut, menurut dia, majelis PK MA juga membuat kekeliruan. Hal tersebut dapat terlihat dalam alasan dakwaan penuntut umum yang berbeda. Majelis PK, terang dia, telah mengubah tempat kejadian (locus) terbunuhnya Munir, dari dakwaan pertama yang dinyatakan saat penerbangan Jakarta ke Singapura menjadi terdakwa meracuni korban di Coffee Bean di Bandara Changi Singapura.

"Locus-nya, keracunan terjadi di pesawat terbang. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang, karena bergeser dari surat dakwaan di Coffee Bean di Bandara Changi Singapura. Jadi, artinya putusan itu sudah bergeser dari prinsip surat dakwaan mengenai locus dan tempus (waktu kejadian). Kalau locus ini tidak dapat dibuktikan, orangnya  harus bebas. Anda mau tanya kepada sarjana hukum mana pun pasti dia akan tahu, dan akan sependapat dengan saya," tuturnya.

Selain itu, lanjut Assegaf, pihaknya juga memiliki bukti baru (novum). Namun, dirinya enggan menjelaskan secara rinci mengenai apa saja bukti baru tersebut. "Ada novum, tetapi nanti saja kita jelaskan. Yang terpenting alasan PK itu ada tiga. Yang pertama memang novum, lalu yang kedua itu karena ada kekeliruan dari hakim, dan yang ketiga adanya pertentangan dari keputusan hakim dalam perkara yang sama. Itu yang menjadi dasar kita ajukan PK ini," katanya.

Aktivis hak asasi manusia, Munir, tewas di atas pesawat Garuda dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004. Hasil otopsi, ditemukan senyawa arsenik di dalam tubuh Munir.

Selain Polly, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Mayjen (Purn) Muchdi Pr juga dihadapkan ke pengadilan. Muchdi divonis bebas.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com