Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Pencitraan SBY Gagal

Kompas.com - 24/04/2011, 15:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ahli psikologi sosial politik, Abdul Malik Gismar, menilai publik sudah tidak lagi termakan dengan politik pencitraan yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, isu kebohongan publik yang sempat disematkan para tokoh lintas agama kepada pemerintahan SBY juga turut menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah.

Berdasarkan survei yang dilakukan Institue for Strategic and Public Policy Research (Inspire), isu kebohongan publik, seperti perlindungan TKI, penanganan korupsi, mafia pajak, rekening gendut polisi, serta kasus Bank Century dan Sri Mulyani Indrawati, menunjukkan adanya ketidapercayaan masyarakat kepada SBY. Sebanyak 64,8 persen publik tidak percaya Presiden SBY telah melindungi TKI.

Dalam kasus Century dan Sri Mulyani, sebanyak 54,1 persen publik merasa SBY belum bersikap transparan. Sementara dalam hal pemberantasan korupsi, sebanyak 56,9 persen publik tidak percaya Presiden SBY telah bersungguh-sungguh. Presiden SBY juga dinilai belum menunjukkan kinerja optimal dalam membongkar mafia pajak (66,8 persen).

Demikian pula dalam kasus rekening gendut polisi di mana tingkat ketidakpercayaan publik mencapai 56,4 persen karena kasus ini tidak ada kelajutannya. Sementara itu, publik masih percaya kepada Presiden SBY untuk isu-isu makro yang lebih abstrak, seperti kebebasan beragama (68,5 persen) dan kebebasan pers (67,5 persen).

"Dari sini sudah terlihat politik pencitraan SBY gagal. Dari temuan ini sudah sangat jelas trennya menurun," ucap Abdul Malik Gismar, Minggu (24/4/2011) di Restoran Pulau Dua, Jakarta. Politik pencitraan itu gagal karena banyak isu kebohongan yang langsung mengena ke masyarakat sehingga masyarakat bisa menyimpulkan adanya ketidakberesan dalam pemerintah. "Sudah rapat tiap minggu, sudah ada inpres tetapi tidak ada konkretnya," ungkap Malik.

Faktor lain yang menyebabkan politik pencitraan SBY gagal juga diakibatkan karena personalitas dari SBY sendiri. "Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme, Soekarno nasionalis, kalau SBY apa? Mungkin ada yang menyebutnya sebagai presiden wacana," tutur Malik.

Banyaknya rencana dan wacana dalam pemerintahan SBY inilah yang menjadi bomerang bagi kebesaran diri seorang presiden. "Ada faktor lain juga yakni adanya pemerintahan yang pincang," ungkap Malik.

Menurut dia, pemerintahan yang pincang ini terjadi lantaran tidak adanya eksekusi yang dilakukan pejabat-pejabat di bawah Presiden SBY. Adanya ketidaknyambungan visi, misi, dan komunikasi politik di antara lembaga eksekutif sehingga wacana-wacana itu tidak terwujud. Hal ini terlihat dalam survei Inspire, meski diterpa banyak isu tidak sedap, publik sebenarnya masih menilai kualitas kepemimpinan SBY baik (64,6 persen). Namun, tuntutan perlunya reshuffle tetap sangat tinggi, yakni sebanyak 61,1 persen  publik meyatakan perlu ada reshuffle.

"Ketidaknyambungan presiden dengan menteri-menterinya ini yang menarik. Ada masalah apa sebenarnya kan? Karena itu berpengaruh pada kinerja," kata Malik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com