JAKARTA, KAMIS - Wacana penambahan hukuman kerja sosial - selain hukuman penjara - bagi para terpidana kasus korupsi mendapat dukungan kuat. Sanksi sosial untuk terpidana kasus korupsi perlu diperberat sebagai salah satu cara mendorong munculnya efek jera dan malu berbuat korupsi.
Dukungan setidaknya dilontarkan sejumlah pihak, seperti Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen dan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko, Rabu (13/8), saat dihubungi Kompas di tempat terpisah.
Hukuman tambahan kerja sosial, seperti pernah dilontarkan oleh guru besar pidana internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, telah diterapkan di Korea Selatan dan mulai dipelajari China.
”Bagus juga kalau ada hukuman seperti itu. Paling tidak supaya mereka (terpidana korupsi) bisa melihat langsung, misalnya, kondisi masyarakat miskin yang pastinya juga terimbas akibat ulah para koruptor,” ujar Danang.
Namun, katanya, penerapan hukuman tambahan kerja sosial hanya bisa dilakukan dengan terlebih dahulu merevisi aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga membentuk badan atau lembaga khusus untuk mengawasi kerja sosial itu.
Danang juga melihat ada peluang untuk memasukkan pasal tentang hukuman kerja sosial itu dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kesempatan berbeda, Patra melihat ada satu peluang lagi, selain mengubah aturan hukum positif (KUHP), untuk bisa memasukkan aturan hukuman kerja sosial itu. Caranya, dengan meminta fatwa dari Mahkamah Agung.
”Jadi, pilihannya kita bisa minta revisi aturan KUHP dan aturan tentang lembaga pemasyarakatan atau dengan meminta fatwa MA. Namun, tidak cuma itu, kita juga harus bisa memastikan infrastruktur pelaksanaan hukuman seperti itu juga sudah siap,” ujar Patra.
Perlu diperbanyak
Selain memperberat sanksi sosial, persepsi dalam melihat perkara korupsi pun harus diubah, yaitu dengan lebih melihat kepada rakyat yang menjadi korban, bukan koruptornya.