“Saya menyesal dan saya nggak menyangka kemarahan publik seperti ini...” - Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono.
MELEGAKAN! Respons Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono, selaku Ketua Komite Pengawasan Tapera di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/6/2024), menanggapi penolakan masif publik – pengusaha dan buruh – terhadap Tapera, bagi saya melegakan.
Di tengah arogansi elite politik merespons tuntutan publik, Basuki justru memberikan respons rendah hati dan mau mendengarkan suara rakyat.
Gaya Basuki merespons tuntutan publik, sejalan dengan prinsip dan pemahaman demokrasi yang pernah disampaikan Joko Widodo selaku calon presiden saat debat kampanye Pemilu Presiden 2014.
Kala itu, Jokowi mendefinisikan demokrasi secara sederhana. “Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya,” kata Jokowi kala itu.
Basuki mengambil sikap merendah dan mau mendengarkan rakyat yang menjerit atau mungkin malah menangis.
Basuki adalah menteri profesional dan meniti karier di Kementerian Pekerjaan Umum. Ia jarang dan hampir tak pernah terdengar merespons isu-isu politik. Ia hanya bekerja dan bekerja. Dan, hasil kerjanya nyata.
Namun, ketika dihadapkan pada isu Tapera yang menjadi tanggung jawabnya,
Basuki tidak mengelak dari posisinya sebagai Ketua Komite Pengawasan Tapera dengan menyalahkan pihak lain atau mengalihkan tanggung jawab pada pihak lain.
Basuki mengambil tanggung jawab dan merasa menyesal dan mengatakan, “Program ini tak perlu buru-buru jika belum siap diterima masyarakat.”
Dalam perspektif komunikasi, Scot Kuldif mengatakan, komunikasi akan efektif jika pengirim pesan dipahami oleh penerima pesan. Ada sejumlah unsur agar komunikasi menjadi efektif.
Pertama, kejelasan. Pesan yang disampaikan harus jelas dan tidak ambigu. Pesan Basuki, ia mengaku tidak menyangka kemarahan publik atas Tapera, dan “Jika belum siap, tak perlu buru-buru.”
Kedua, sederhana. Bahasa Basuki sederhana. Tidak rumit. Tidak ngeles.
Ketiga, soal konteks. Basuki memahami kemarahan publik sehingga bahasa yang disampaikannya penuh empati, penuh hormat, dan sopan.
Ini berbeda dengan respons sejumlah pejabat yang cenderung gaya komunikasinya arogan. “Pokok jalannya terus. Percayakan pengelolaan dana pada kami.” Padahal, justru kepercayaan publik itu sedang ada masalah.
Program Tapera di mana buruh dan majikan wajib menabung untuk mendapatkan rumah memang memicu kemarahan publik.