JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mendiskualifikasi partai politik peserta pileg yang gagal memenuhi keterwakilan 30 persen caleg perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) pileg berikutnya.
"Ke depan, untuk pemilu-pemilu berikutnya, bagi dapil yang tidak memenuhi syarat minimal 30 persen calon perempuan, KPU memerintahkan kepada partai politik peserta pemilu untuk memperbaiki daftar calon," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (6/6/2024).
"Jika tetap tidak terpenuhi, KPU harus mencoret kepesertaan partai politik tersebut dalam pemilu pada dapil (daerah pemilihan) yang bersangkutan," tegas dia.
Baca juga: MK Anggap KPU Sengaja Abaikan Putusan MA soal Kuota 30 Persen Caleg Perempuan
Argumentasi ini disampaikan MK saat mengabulkan sebagian gugatan PKS pada hasil Pileg DPRD Provinsi Gorontalo pada dapil Gorontalo 6.
PKS menggugat karena mereka tidak mendapatkan kursi DPRD provinsi walau memenuhi 30 persen caleg perempuan, sementara 4 partai yang mendapatkan kursi justru tak memenuhi 30 persen caleg perempuan.
Pada perkara yang diputus ini, MK memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) pada dapil Gorontalo 6.
Pihak terkait Partai Gerindra dan Nasdem sempat mempersoalkan bahwa PKS juga tidak memenuhi kuota caleg perempuan 30 persen di dapil-dapil lain.
Namun, menurut MK, Mahkamah tidak dapat menilai dan memutusnya karena hal tersebut tidak dimohonkan kepada majelis hakim.
Baca juga: MK Minta Pemilu Ulang di Gorontalo karena Daftar Caleg Perempuan Kurang dari 30 Persen
Pandangan serupa juga disampaikan oleh pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
"Sebenarnya, dapil yang tidak memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen bukan hanya di dapil 6 DPRD Gorontalo, pada Pemilu DPR saja terdapat 267 daftar caleg dengan keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen. Sayangnya tidak semua partai mengajukan PHPU ke MK, sehingga tidak bisa dikoreksi kesalahan dan kerugian yang sudah dialami perempuan politik tersebut," ujar Titi.
"Sangat disayangkan kebebalan KPU dan ketidakberpihakan KPU pada amanat konstitusi soal kebijakan afirmasi yang jelas tertera dalam Pasal 28H UUD 1945 dan Pasal 245 UU Pemilu berdampak kerugian yang nyata bagi perempuan politik serta keuangan negara," tambahnya.
Pertimbangan MK
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa kuota 30 persen harus dipahami sebagai bentuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota agar menjamin dan memberi peluang keterpilihan lebih besar kepada perempuan dalam suatu pemilu.
Dengan bertambahnya jumlah anggota legislatif perempuan diharapkan mampu mewakili kepentingan kaum perempuan yang tidak selalu bisa diwakili oleh anggota legislatif laki-laki.
"Dalam konteks itu, syarat keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota merupakan hal yang harus diperjuangkan sebagai salah satu amanah konstitusi guna mencapai kesetaraan dalam pembangunan bangsa secara menyeluruh," ujar Saldi.