JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah membenarkan peristiwa penguntitan terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah oleh anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
Terpisah, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga membenarkan memang ada anggota Densus 88 yang menguntit Jampidsus Febrie Ardiansyah.
Bahkan, anggota Densus 88 yang disebut bernama Bripda Iqbal Mustofa tersebut sudah ditangani Biro Pengamanan Internal (Paminal) Propam Polri.
Sayangnya, kedua institusi yang seharusnya menjadi penegak hukum di tengah masyarakat ini kompak enggan membeberkan dari motif penguntitan yang terjadi terhadap Jampidsus pada 19 Mei 2024 tersebut.
Kedua institusi ini hanya menegaskan bahwa tidak ada masalah di antara mereka. Lalu, memamerkan kemesraan di antara dua pucuk pimpinan lembaga tersebut.
Peristiwa penguntitan ini membuat anggota dewan ikut berbicara perihal masalah di antara dua institusi ini dan menyoroti pengamanan oleh polisi militer di Kejagung.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman meminta kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk membuka masalah yang sedang terjadi di balik peristiwa penguntitan Jampidsus tersebut.
Dia juga mendesak Jaksa Agung memberi penjelasan kepada publik terkait pengamanan tambahan dari TNI.
Menurut Benny, Kejagung tidak perlu menambah bantuan pengamanan dari Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Bahkan, dia meminta, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto perlu menarik pasukan tambahannya tersebut.
Baca juga: Polri Ungkap Identitas Anggota Densus 88 yang Buntuti Jampidsus, Berpangkat Bripda
Adapun sejak penguntitan tersebut, TNI menambah personelnya di markas Kejagung untuk pengamanan meski mereka mengeklaim hal tersebut sesuatu yang normal.
"Enggak perlu. Enggak perlu begitu. Menurut saya, Panglima TNI perlu tarik pasukan itu," ujar Benny di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada 29 Mei 2024.
Berita Selengkapnya bisa dibaca di sini.
Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 mengubah penghitungan usia calon kepala daerah dari yang semula termaktub dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.
Putusan tersebut mengabulkan permohonan hak uji materi yang dimohonkan oleh Ketua Umum Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) Ahmad Ridha Sabana.
Menurut MA, Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih”.
Baca juga: Polri Tak Sanksi Anggota Densus 88 yang Kuntit Jampidsus