JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan duduk persoalan proses lelang terhadap saham PT Gunung Bara Utama (GBU), yang membuat Jaksa Agung Muda Bidang Tinda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Laporan itu dibuat oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, PT GBU yang merupakan aset sitaan milik terpidana kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Heru Hidayat, awalnya hendak diserahkan ke PT Bukit Asam Tbk, perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang pertambangan.
"Tetapi ditolak karena perusahaan PT GBU memiliki banyak masalah seperti utang dan banyaknya gugatan," kata Ketut kepada wartawan, Rabu (29/5/2024).
Baca juga: Enggan Beberkan Motif Anggota Densus Kuntit Jampidsus, Kejagung: Intinya Itu Terjadi
Tim Jampidsus kemudian melakukan proses penyidikan yang disusul oleh upaya gugatan keperdataan dari PT Sendawar Jaya (SJ). Namun, Kejagung kalah dalam gugatan tersebut.
Kejagung baru memenangkan gugatan pada tingkat banding. Setelahnya, Kejagung meneliti berkas dalam gugatan itu.
"Kejaksaan Agung saat itu menemukan dokumen palsu sehingga ditetapkanlah Ismail Thomas sebagai tersangka yang kini sudah diadili," ujar dia.
Sebagai informasi, Ismail Thomas merupakan anggota Komisi I DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan. Mantan Bupati Kutai Barat periode 2006-2016 ini sebelumnya divonis satu tahun penjara di tingkat pertama dalam perkara pemalsuan penerbitan dokumen perizinan pertambangan PT SJ.
Ketut menambahkan, ada penilaian di dalam proses lelang PT GBU yang dilakukan oleh tiga appraisal.
Pertama, yaitu terkait dengan aset atau bangunan alat berat yang melekat di PT GBU dengan nilai kurang lebih Rp 9 miliar. Kedua terkait dengan PT GBU dengan nilai Rp 3,4 triliun.
"Dari hasil dua tadi dilakukan satu proses pelelangan pertama tetapi satu pun tidak ada yang menawar, jadi kalau dibilang ada kerugian Rp 9 triliun, dimana kerugian Rp 9 triliunnya," jelas Ketut.
Oleh karena tidak ada yang menawar, lanjut Ketut, maka dibuka proses pelelangan kedua dengan melakukan foto appraisal.
Baca juga: Jampidsus Diadukan ke KPK, Kejagung: Silakan Laporkan, tapi yang Benar Jangan Ngawur
Menurut Ketut, angkanya mengalami fluktuasi karena nilai saham dipengaruhi oleh harga batubara pada saat itu.
"Sehingga kita memperoleh nilai Rp 1,9 triliun. Itu pun kita lakukan satu pelelangan dengan jaminan. Kenapa ada dengan jaminan? Karena di dalam PT GBU itu ada piutang. Ada utang dari perusahaan lain, kurang lebih 1 juta USD. Kalau dihitung pada saat itu kurang lebih Rp 1,1 triliun," imbuh dia.
Dia menambahkan hanya ada satu orang yang menawar, sehingga dia ditetapkan sebagai pemenang.