JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengkritik revisi Undang-Undang Penyiaran karena dinilai mengebiri pers dan mengancam kebebasan berekspresi.
Menurut dia, RUU Penyiaran sama saja membunuh jurnalisme jika salah satu isi drafnya melarang penyiaran program investigasi.
"Dalam konteks hari ini, melarang penyiaran program investigasi dalam draft RUU Penyiaran pada dasarnya mengebiri kapasitas paling premium dari insan pers, sebab investigasi tidak semua bisa melakukannya,” kata Cak Imin dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024).
Baca juga: Tanggapi RUU Penyiaran, Akademisi Unmuh Jember: Jurnalisme Investigasi Harus Dijamin Kebebasannya
Menurut dia, saat ini kabar-kabar pendek seperti breaking news atau info viral relatif sudah diambil alih media sosial.
Maka dari itu, jurnalisme sangat diandalkan dalam melahirkan informasi yang panjang, lengkap, dan mendalam.
"Masak, jurnalisme hanya boleh mengutip omongan jubir atau copy paste press release? Ketika breaking news, live report bahkan berita viral bisa diambil alih oleh media sosial, maka investigasi adalah nyawa dari jurnalisme hari ini," ujar Cak Imin.
Wakil Ketua DPR ini mengambil contoh, Program Buka Mata dari Narasi TV, Program Bocor Alus dari Tempo, atau film dokumenter Dirty Vote yang tayang di kanal Youtube Watchdoc.
Ketika dirilis, menurut dia, Dirty Vote mampu memberikan perspektif dan informasi penting yang dibutuhkan public dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.
"Dirty Vote, Buka Mata dan Bocor Alus adalah salah satu produk jurnalisme investigasi yang mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi yang kredibel," kata dia.
"Karya-karya seperti ini justru perlu kita dukung karena akan membawa kebaikan bagi bangsa. Sama halnya dengan karya-karya kreatif lain yang hanya dapat muncul jika diberi ruang kebebasan," ucap Muhaimin.
Baca juga: Komentari RUU Penyiaran, Mahfud: Keblinger, Masak Media Tak Boleh Investigasi?
Meski begitu, Cak Imin juga memahami pentingnya kemampuan masyarakat dalam memilah berita yang kredibel di tengah gempuran banjir informasi melalui social media dan berbagai platform penyiaran.
Sejauh ini, kata dia, revisi UU Penyiaran masih berupa draft. Artinya, masih ada waktu untuk menyerap dan mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat dan insan media.
"Revisi UU Penyiaran harus mampu melindungi masyarakat dari hoaks dan misinformasi yang semakin merajalela, tanpa mengamputasi kebebasan pers. Masyarakat juga berhak untuk akses terhadap informasi yang seluas-luasnya. Tidak Boleh ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik," ucap dia.
Sebelumnya diberitakan, RUU Penyiaran dianggap bisa mengancam kebebasan pers karena didalamnya mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Pelarangan itu ada dalam Pasal 50B AAyat (2) draf RUU Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024.
Kemudian, pada Pasal 50B Ayat (3) diatur mengenai sanksi apabila melanggar aturan pada ayat (2) tersebut, mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi isi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
Tak hanya itu, pada Pasal 50B Ayat (4) disebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.