PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024 nampaknya hanya berjalan seperti biasanya (business as usual) dan sambil lalu saja.
Mestinya, peringatan Hardiknas tahun ini bisa menjadi momentum penting untuk merefleksikan pembenahan etika berbangsa, utamanya melalui penguatan budi pekerti.
Budi pekerti merupakan aspek penting dalam pendidikan karakter yang membentuk kepribadian dan moralitas individu atau warga negara dalam masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, melalui penguatan pendidikan karakter inilah menjadi pintu masuk yang krusial dalam upaya memperbaiki etika berbangsa.
Kenapa hal ini perlu dilakukan? Ada dua landasan berpikir perlunya pembenahan etika berbangsa.
Pertama, pendidikan karakter khususnya yang berkaitan dengan standar etik dan budi pekerti harus kuat berdasarkan pada pemahaman tentang sejarah berbangsa dan bernegara.
Kedua, pembenahan etika berbangsa harus dirunut sampai akarnya, yakni bagaimana pendidikan karakter kembali benar-benar dipahami berdasar nilai-nilai Pancasila.
Lahirnya generasi yang tanpa sadar kehilangan akar sejarah berbangsa dan benegara akan menjadi batu sandungan bagi kesadaran etika kebangsaan di masa depan.
Etika berbangsa merujuk pada kesadaran kolektif akan nilai-nilai moral dan norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam negara.
Dalam pengajarannya, Ki Hadjar Dewantara pernah menekankan mengenai pendidikan budi pekerti. Seseorang yang memiliki kecerdasan budi pekerti adalah orang yang mampu selalu memikir-mikirkan, merasa-rasakan, serta senantiasa memakai ukuran, timbangan dan dasar yang tetap dalam perkataan dan tindakan.
Oleh karena itu, penguatan budi pekerti menjadi fondasi yang tak tergantikan dalam memperbaiki dan memperkuat moral bangsa di tengah gempuran paham dan budaya global yang sebagian sulit untuk diterima.
Pendidikan adalah pilar fundamental dalam pembangunan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.
Merujuk pendapat Driyarkara melalui Driyarkara tentang Pendidikan (1991) bahwa sejatinya pendidikan itu memanusiakan manusia. Pendidikan adalah untuk kehidupan.
Namun, realitas yang muncul belakangan ini cukup menyakitkan, yaitu kembali hadirnya dosa-dosa besar yang mengancam integritas lingkungan pendidikan, di antaranya kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Jumlah ini meningkat sembilan kasus dari tahun sebelumnya, menandakan aturan yang dibuat belum terealisasi dengan optimal.