PUASA Ramadhan ini bisa diresapi sebagai laku toleransi atas keragaman iman nyata dari segi pelaksaanan waktu. Toleransi internal dan toleransi eksternal, di dalam umat dan antarumat lain selama Ramadhan tahun ini seharusnya menjadi kenyataan.
Toleransi internal bisa dilihat dari segi permulaan puasa yang tidak bersamaan antara metode hisab dan ru’yat, antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sebagaimana sudah sering dilalui di Tanah Air.
Dua organisasi Muslim besar ini sudah tidak lagi diragukan komitmen kebangsaan, keragaman, dan praktik toleransinya.
Toleransi dan saling memahami dalam perbedaan internal umat Islam juga sudah teruji berulang kali.
Sudah dianggap lumrah melakukan ibadah yang sama dengan cara yang berbeda, itulah makna toleransi internal umat seagama.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan tanggal 12 Maret sebagai awal bulan puasa, Muhammadiyah sudah menjalani sejak tanggal 11.
Seharusnya, puasa Ramadhan tahun ini juga layak menjadi bahan refleksi toleransi eksternal, umat Islam dan umat agama lain.
Kebetulan, bulan Ramadhan 1445 Hijriah jatuh pada Maret dan April 2024 bertepatan dengan ibadah Nyepi saat menjelang puasa, dan akan bebarengan dengan rentetan ibadah Paskah.
Bulan Maret dan April kita memang merayakan paling tidak hari suci bagi Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu.
Hal yang sangat biasa di masyarakat Indonesia, di mana negara mengakui enam agama resminya. Di bulan-bulan tertentu selama setahun akan bertemu banyak upacara dan ritual beberapa agama.
Puasa itu sebulan penuh, bisa berisi 28, 29 atau 30 hari. Ramadhan itu nama bulan bagi kalender Hijriah, yang tidak selalu sama waktunya dengan bulan-bulan kalender Masehi atau Gregorian.
Hijriah dan Masehi umum dipakai dalam negara-negara Muslim, dua sistem penanggalan. Di Indonesia masih dikenal tahun Saka, saat ini adalah tahun 1946. Ibadah nyepi mengikuti kalender Saka.
Kata puasa itu sendiri sudah dimodifikasi orang-orang Nusantara untuk menyebut shaum atau shiyam dalam bahasa Kitab Suci Al-Qur’an.
Tersebut dalam surah Al-Baqarah ayat 183: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Puasa bagi orang-orang Nusantara yang mengikuti tradisi Hindu dan Buddha, juga ajaran-ajaran lokal sudah biasa.